Friday, November 27, 2015

Nostalgia, Naik Klotok di Sungai Kahayan [Part 2]

Sengaja aku datang  ke kotamu.
Lama nian tidak bertemu.
Ingin diriku mengulang kembali.
berjalan-jalan bagai tahun lalu.

Sepanjang jalan kenangan, 
kita saling bergandeng tangan
Kau....

Stop!

Sampai disitu saja, syairnya lagunya, karena saya masih terlalu kecil saat itu, belum kenal perjaka...Masih kinyis-kinyis.

Nostalgiapun, bukan sepanjang jalan, tapi sepanjang sungai Kahayan, naik Klotok dari Palangka Raya ke Kuala Kurun.
Tepian sungai Kahayan   (dokpri)
Sore mendung bergelayut, November rain (18/11/14)
Saya berdiri di tepian taman kota di Kuala Kurun.. Setelah seharian menyelusuri Jalan Sangkurun, mengagumi rumah-rumah kayu yang tersisa.Klik di sini
Di ujung jalan, di depan pasar Kuala Kurun saya berhenti, memandang aliran sungai Kahayan yang berwarna coklat...Kemudian lamunan membawa kembali di tahun yang telah lewat. 

Pertama kali saya berkunjung ke Kuala Kurun tahun 1981, itupun ikut Mina(sebutan tante dalam bahasa Dayak, adik Mama saya) Namanya Mina Pancar pulang kampung. Tahun 1997 saya kembali ke Kuala Kurun, ketika nenek saya meninggal dunia. Cukup lama sekitar 18 tahun barulah akhir Nopember 2014, saya kembali ke Kuala Kurun.




Klotok di masa lalu (sumber: Klik    )
Untuk menempuh ke kampung di hulu sungai Kahayan, memerlukan waktu sehari semalam dengan kapal air, namanya Klotok. Kapal air terbuat dari kayu bermesin berbahan bakar solar, bunyinya tok tok tok, (pasti itu asal muasal dinamakan klotok). Suaranya berisik sekali. Klotok dinamakan juga Bus air.

Alternatif transfortasi air lainnya, naik speedbood. Memang sih naik speedbood, cepat tapi sungguh menyiksa, hampir setengah hari, harus duduk berdempetan dengan penumpang lain. Anginnya kenceng, yang tua pasti berhujung kerokan. Motor air bermesin cepat ini melaju seperti melayang dipermukaan air sungai, keren banget. Kapan lagi ya saya bisa merasakan, sensasi macam film James Bond mengejar penjahat. Pokoknya cepat sekali.

Sungai Kahayan semasa saya kecil, berair jernih, semenjak penambangan emas secara liar, air menjadi coklat keruh. sungai menjadi dangkal. Tak heran, kalau air sungai surut, Kapal air kecil menjadi kandas. Kalo begitu, penumpang dengan suka rela, mendorong kapal sampai ke air sungai yang  dalam...Hehehe, jadi jangan heran, bukan truk saja yang didorong kalo mogok, klotok juga. 

Jangan bayangkan, di dalam klotok ada pramugarinya yang molek.*Buang jauh-jauh*. Nggak ada. 
Masuk ke dalam ruangan klotok, semua penumpang sibuk mengurus diri masing-masing, ngurus barang bawaan, disusun di pinggir badan klotok. Barang dan penumpang harus duduk seimbang disisi kiri dan kanan kapal air. Kalau tidak, jalannya kapal akan oleng kesisi yang lebih berat. Seperti ada aturan main sendiri, masuk ke kapal, bikin sekat sendiri pakai tas, paling tidak tempat buat rebahan badan. Berbantal tas bawaan, penumpang bisa tidur berdampingan dengan penumpang lain.

Klotok yang melaju tenang di sungai, bisa jadi, terajut kisah cinta sepasang sejoli yang baru kenal. Dari tidur berdekatan, ngobrol dan menawarkan makanan dan minuman. Aiihhh, romantis kan.

Untuk makan dan minum, penumpang bebas membawa bekal. Mina(tante) saya, membawa rantang kaleng bersusun empat, belum ada tupperwear, Bray

Jaman repot sendiri. Rantang yang isinya, nasi pada bagian dasar , bagian atas lauk dan sayur. Dan kalaupun tak membawa bekal, tak usah takut kelaparan dan nelen ludah lihat orang makan.
Di klotok, tersedia pula dapur  yang terletak di buritan/belakang. Penumpang bisa membeli minuman teh dan kopi hitam, di Kalimantan yang namanya teh itu, pasti manis, tak ada yang tawar. Makanan yang di jual  seperti nasi, masak habang haruan(ikan gabus) atau hantalu(telur). Masakan ini praktis, terbuat dari bumbu cabe kering merah (habang) yang di haluskan dengan bawang merah dan jahe. Bumbu habang itu campur dengan ikan haruan goreng dan telur ayam rebus, atau daging. Sayur  umumnya tumis dawen jawau (daun singkong). Daun singkong yang direbus, kemudian diiris tipis, barulah ditumis. Sayur lain, paling favorit, juhu asem tekuluk Behau(sayur asam kepala Behau). Harganya saya lupa, masih anak kecil waktu itu, jadi tinggal makan saja.

Kapal klotok ada yang memiliki dua tingkat dan berukuran besar. Kebetulan, klotok ke Kuala kurun, rata-rata cuman berlantai satu saja, Klotok memiliki kamar mandi (jamban), penumpang mengambil air dengan gayung plastik kecil yang di ikat dengan tali. Air diciduk dari lubang kecil antara dua papan ke arah bawah  dan siram langsung. Lubang itu juga dibakai buat buang hajat....hehehe, multi fungsikan. Punya cara tersendiri mandi di jamban klotok, jangan lama-lama karena yang ngantri banyak...Nggak enak amat, mandi sambil dikedor plus omelan.


Ada pemandangan unik, di dalam kapal air, baru saja masuk kapal, ibu-ibu yang membawa anak balita, langsung membuat ayunan dari kain bahalai  namanya tuyang, anak-anak akan diayun ibunya hingga tertidur pulas serasa di rumah sendiri.


Bila sore tiba, sering penumpang duduk di pinggir kapal, yang mensisakan tempat ukuran sebatang papan. Kaki bisa di turunkan ke bawah, bermain dengan cipratan air dari arah kemudi. Yang cukup berani nyali, banyak pemuda yang duduk di atas atap klotok, bergerombol sambil bernyanyi memakai gitar...Seingat saya, nggak ada sih, yang berdiri berduaan di ujung haluan, emangnya kapal Titanic. Yang ada, kadang penumpang yang tidur di atas atap, suka ketiduran sampai pulas dan tergelincir nyemblung ke sungai. Heboh, deh!

Paling asik, melihat pemandangan sepanjang sungai. Kadang, di pinggir  sungai datang gerombolan kera ekor panjang bermain, sekali-kali bisa juga melihat bekantan dan orang hutan. Daun dari pohon dipinggir sungai, masih lebat dan berjuntai hingga ke tengah sungai. Apalagi daun rumbia,dan rotan yang menjalar naik ke pohon, masih banyak disepanjang sungai. 

Dekat dengan perkampungan, pemandangan lain yang disuguhkan, melihat aktifitas penduduk mandi cuci di sungai. Perempuan Dayak, saat sibuk di jamban, mengunakan kain sarung perempuan (Bahalai) yang kedua ujung kain belakang dan depan di ikatkan di bahu, seperti baju. Mandi, cuci, buang hajat menjadi satu.

Sampai di tempat tujuan.
Klotok menurunkan penumpang sesuai desa mana yang di tuju. Umumnya, klotok  berhenti di jamban penduduk di sepanjang sungai. Yang jadi masalah buat saya, karena nggak bisa berenang. Menuju ke daratan dari klotok, ibarat uji keberanian dan ketrampilan.

Bayangkan!


Uji pertama. Jarak jamban ke daratan tepi sungai, dibuat titian dari gelondongan kayu yang diikat ujung dari tepi kayu jamban ke tepi daratan. Gelondongan kayu kalau diinjak, suka berputar, alahmakkk, bikin deg-deg, takut kecebur ke sungai. 


Uji ke dua. Sampai ujung tepi daratan, tarik nafas dulu. Belum juga sampai tujuan akhir. 

Uji selanjutnya, naik ke atas dengan meniti tangga yang terbuat dari batang pohon kelapa yang di tangkik menyerupai celah kecil sepanjang badan kelapa. Sama seperti yang pertama, perlu keseimbangan badan dan ketrampilan, karena ukuran batang kelapa cukup kecil, tangkiknya hanya cukup untuk telapak kaki.
Belum secanggih sekarang, semua perlu usaha, yang terbiasa itu mah tampak gampang, malah bukan membatu saya, sibuk mengetawai saya yang gemetaran.Sekarang, antara jamban dengan daratan, tidak berjarak lagi, menempel dengan daratan, mungkin karena sungai sudah sangat dangkal. 

Ada satu suara yang saya rindu, teriakkan kegembiraan Nenek saya menyambut cucunya. Suaranya nyaring, ngasih pengumuman ke tetangga, sambil berlari menunggu di atas tepin sungai.

"Esoe koh dumah," (cucuku datang)
Ah, jadi kangen dengan almarhum Nenek saya. Nenek yang selalu ceria, suka bernyanyi 'sepasang rusa dilanda asmara' setiap ada sejoli lewat di depan rumah, mengoda dan membuat mereka tersipu. Saya yang masih belia, hanya bengong tak mengerti.

Hujan benar-benar turun, membangun saya dari kenangan masa lalu. Melihat air sungai Kahayan yang mengalir. Hanya beberapa klotok lalu lalang, tak sebanyak puluhan tahun yang lalu. Rata-rata pengusaha klotok sudah gulung tikar, semenjak transportasi darat menembus Kuala Kurun dan daerah sekitar.
Memandangan sungai Kahayan di tepian Taman Kota Kuala Kurun
Ada pameo tentang air sungai Kahayan.
"Setiap orang yang meminum airnya, pasti akan kembali ke Kalimantan"
Hmmmm...Percaya, tidak percaya.
Seperti saya, selalu ingin kembali ke Kalimantan.
Seperti juga Bapak saya, pemuda Sunda yang terpikat dengan gadis Dayak(Mungkin juga, gara-gara minum air sungai Kahayan). Perempuan Dayak, itulah Mama saya. Dimata saya, teramat cantik diusianya ke 68 tahun.


Dengan Mama di Bandara Soekarno Hatta menunggu penerbangan ke Kalimantan   (Dokpri)













7 comments:

  1. Di banjarmasin klotok msh byk dan di lestarikan. Krn julukan kota seribu sungai dan wisata pasar terapung jd andalan utama disini.. mari mampir mba

    ReplyDelete
  2. Mudah-mudahan, Insya Allah. Dulu dari Palangka Raya ke Banjarmasin naik bus air atau klotok yang sama, bertingkat dua.

    ReplyDelete
  3. Aiiihhh keturunan Dayak ya mbak, pantas aja kulitnya bersih. Mama juga masih cantik dan terlihat muda utk ukuran usianya ya. Salam buat Mama :)

    Jadi ingat novel bang Tere, sepucuk angpau merah, settingnya sungai dg perahu klothok, hihiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, dari Mama. Saya malah banyak Sundanya, kalo kakak saya lebih sipit, orang dayak seperti wajah Cina.

      Delete