Wednesday, November 25, 2015

Kembali ke Tanah Kelahiran, Kuala Kurun [Part 1]

Pernah saya menulis impian saya untuk kembali ke tanah kelahiran, Kuala kurun, Klik disini 
Ternyata, Allah mewujudkan mimpi itu di bulan Nopember 2014.


Jalan Sangkurun, kota tua Kuala Kurun  (Dokpri)
Tak terasa setahun sudah, saya pulang ke kampung halaman, walau tempat itu hanya sekedar numpang dilahirkan, bahagianya luar biasa. Tak sadar, baru sekarang, saya sempat menulis perjalanan ke Kuala Kurun, kampung ibu saya.

Dulu, Kuala Kurun adalah kota administratif  terletak di hulu sungai Kahayan. Semenjak  tahun 2002, Kuala Kurun ibu kota Gunung Mas berubah menjadi salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah, hasil dari pemekaran Kabupaten Kapuas dengan ibukota Gunung Mas, pasti banyak perubahan yang terjadi.

Transportasi darat dari Palangka Raya-Kuala Kurun, ditempuh kurang lebih 3 jam perjalanan. Jalan yang mulus, aspal yang bagus, dan sebelum berangkat, persiapkan jantung anda. Sebab, kontur jalannya naik turun, dengan tanjakan yang naik menukik, turunan yang terjal, benar-benar sport jantung.

Kiri kanan jalan menuju Kuala Kurun, kita akan disajikan pemandangan yang memilukan, lahan hutan terbakar. Kayu-kayu menjadi hitam dan kering. Kasihan. Yang tak berubah, kilauan pasir putih bersih yang terterpa matahari, menyilaukan mata.

Kuala Kurun, mayoritas dihuni suku Dayak Ngaju (Ibu saya keturunan Dayak Ngaju), suku Manyan dan sekarang banyak suku banjar dan Jawa. Agama asli Hindu Kaharingan, Kristen Protestan dan Islam. 

Hari itu, saya berjalan mengelilingi kota Kuala Kurun. banyak yang berubah, pembangunan kota dan pemusatan wilayah perkantoran ke arah barat. Kota semakin cantik dengan bangunan baru.

Ada satu jalan yang tak berubah dari dulu, namanya jalan Sangkurun. Jalan yang lurus, menjadi jalan utama di kota tua Kuala Kurun. Di jalan ini, rumah nenek saya berdiri (Sekarang tersisa hanya milik tante saya). Jalan Sangkurun menjadi satu-satunya jalan besar di masa lalu.


Rumah kayu  di pinggir jalan Sangkurun (Dokpri)
Rumah Tua dari kayu madang Batu  (Dokpri)
Ada siapakah dibalik jendela?  (Dokpri)

Natural dan Unik   (Dokpri)

Kiri kanan jalan Sangkurun, berderet rumah-rumah tua, berdinding susun  dari kayu madang batu. 
Bunga dibiar tumbuh liar  (Dokpri)

Atap rumah masih mengunakan sirap. Taukan sirap? Atap rumah kayu yang berbahan kayu ulin (kayu besi). Lantainya rata-rata terbuat dari kayu ulin. Kayu yang berwarna hitam, semakin lama semakin kuat, sayang, sekarang sudah sulit ditemukan di hutan, harganya sangat mahal.


Pagar putih, sederhana  nan indah  (Dokpri)


Bunga  tumbuh alami (Dokpri)
Di halaman rumah berpagar kayu bercat putih, tumbuh bunga liar yang dibiarkan tumbuh. Natural. Indah menghiasi halaman rumah-rumah kayu.
 
Saya di depan rumah kelahiran  (Dokpri)
Adapula, sandung tua di pinggir jalan. Sandung tempat persemayaman terakhir leluhur, setelah menjalankan upacara ritual Tiwah untuk penganut agama suku dayak. Ritual kematian yang terakhir bertujuan untuk mengantar jalan roh atau arwah menuju lewu tatau (Surga) menuju alam keabadian, damai dan tentram di tempat sang Penguasa. 

Sebuah upacara besar, sebagai tanda bakti anak kepada orangtua, agar arwah orang tua bisa mencapai Nirwana dan diterima Raying Hatalla Langit(Tuhan yang bertahta di langit). Perlu biaya tak sedikit(butuh waktu yang lama sampai uang terkumpul, kadang lebih dari 5 tahun) untuk melaksanakan upacara Tiwah.

Saya pernah mengikuti upacara Tiwah sewaktu Kuliah Kerja Nyata 1993 di Benao Hilir, Muara Teweh. Gong dibunyikan, beberapa kain bahalai di ikat di bambu, berkibar di angkasa. Kerbau dan babi berpuluh jumlahnya, dipersiapkan untuk upacara prosesi Tiwah. Tujuh hari tujuh malam, gong di bunyikan, penari giring-giring memeriahkan sebagai tanda kebahagiaan keluarga, bahwa hajat seorang anak bisa dilaksanakan untuk meluruskan jalan orang tua tercinta menuju surga.

Jenazah yang telah lama di kubur digali dan diangkat kembali. Dengan air suci, tulang belulang itu dibersih, kemudian dimasukan ke dalam rumah kecil(sandung diiringan doa-doa. Dalam satu sandung bisa di kumpulkan lebih dari 3 tulang keluarga yang meninggal. Menyatu mereka bersama, di lewu tatau. 

Sandung  (Dokpri)
Sandung (rumah kecil) umumnya di buat dengan dua tiang yang kokoh, berada di ketinggian lebih dari dua meter. Bermakna simbolik, bahwa surga memang berada di atas tempat yang tinggi, dan berlapis tujuh langit. 
Asli masa lalu  (Dokpri)
Tak lupa saya singgah di rumah tempat saya dan kakak di lahirkan, tidak ada yang berubah. Sandung tadi, berada di depan rumah kelahiran. Rumah kayu masih memakai kelambu (jangkut) di atas ranjang untuk memcegah nyamuk. Tidak ada yang berubah. asli masa lalu. Senangnya bisa melihat kembali, dan ini pun, baru pertama kali saya tau, rumah tempat saya dilahirkan. 

Masih terkagum dengan keindahan rumah kayu, tua tetapi indah di lihat. Sayang, sudah sebagian rumah kayu berubah menjadi rumah beton. 
Masihkah rumah-rumah ini bertahan hingga tahun mendatang. Entahlah, kecuali Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, menjadikan kota tua Kuala Kurun jalan Sangkurun sebagai cagar budaya, agar tetap bertahan dan menjadi objek unggulan wisata di Kuala Kurun.

Harapan saya, semoga, kelak kota tua, di jalan Sanggurun ini, tetap lestari sepanjang masa.
Semoga...


 Cerita ini, saya tulis dalam antologi
membelah rimba kota
Kucing ganteng maxsimal, di atas kayu ulin  (Dokpri)


19 comments:

  1. wah unik ya ruamhnya. kadang dg perjalanan waktu rumah2 tradisional menghilang ,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mereka bosan karena merasa sudah kuno, padahal melalui mata kamera, keindahan itu bisa di jual sebagai objek wisata kota tua.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  2. Kirain Ibu kakaknya Mbak Shinta Ries, mirip wajahnya.. Upacara Tiwah mirip ya sama Upacara kematian di Toraja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, satu turunan adam dan hawa. Iya hampir mirip, bedanya, Tiwah mengangkat kembali jenasah dan mensucikan tulang belulang, dan dimasukan di sandung

      Delete
  3. waah teteh ternyata lahirnya nun jauh di sana yaa
    itu photonya keren2 ..
    khas banget suasana kalimantan
    masih aseli...
    Nostalgia ya teh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jauh, di kampung....ayo berwisata ke kota kuala Kurun, menemukan suasana yang berbeda

      Delete
  4. Waah, sudah lama sekali aku kepengin ke Kalimantan, belum kesampaian mbaa. Ada beberapa sahabat yang domisilinya di sana
    Membayangkan ragam budaya disana tentu indah untuk memperkaya batin ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. SEbuah perjalanana selain refresing, juga tadabur pada alam. Nikmatnya

      Delete
  5. suka deh liat rumah-rumah mungil yang ada tanaman-tanamannya di depan. Seperti rumah2 di cerita dongeng...

    ReplyDelete
  6. Unik upacaranya, kayak di Batak ya, jenazah yg udh dikubur dibersihkan lagi dan dimakamkan di tempat berbeda stl 3th lebih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, jenazah yang tinggal tulang, dibersihkan, lalu dimasukkan ke sandung. Budaya dan tradisi Indonesia sangat kaya khasanah nya.

      Delete
  7. cari cari tentang informasi Gunung Mas, eh ternyata dapet juga, sy baru saja sampai di Gunung Mas sekitar 6 harian mknya masih bnyak butuh informasi tentang kabupaten Gunung Mas ini, memang Kab GUMAS ini mengingatkan saya dengan Wamena Papua..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya belum pernah samapi ke ujung timur Indonesia. Salam Hangat

      Delete
  8. Kuala Kurun, ibukota Kabupaten Gunung Mas memang eksotis. Nun ke hulu lagi, akan sampai di Kecamatan Tewah, yg juga tak kalah eksotis. Beruntung saya pernah tinggal selama setahun disana.

    ReplyDelete
  9. Saya pernah tinggal di Kuala Kurun (tepatnya depan lapangan-dkt RS)... Dulu kalau tinggal di sana seringnya nongkrong di pasar lama atau pasar baru yang tidak jauh dari Jl.Sangkurun..

    ReplyDelete