Thursday, June 9, 2022

Bibirku Kurang Merah

"Eenn...angkat lengannya, rata,...raataaa, tegak!" dengkul tante Sukahet menekan punggungku agar tegak, menarik pundak ke belakang, lalu dengan sigap mengangkat ke dua pangkal lengan agar tak bergerak turun.
Suara perintah bercampur bunyi gamelan Bali. Sekali-kali Tante  mencontohkan gerakan tari diiringi  suaranya, seperti gamelan, sreng sreng , ce ce sreng.

"Putar, angka delapan...matanya, lihat jari, kiri, kanan." Perintahnya, tegas dan jelas.
Tante Sukahet, guru tari, juga istri polisi dari Bali. Wajah Indo Belandanya lebih dominan, tapi dialek Balinya sangat kental.
Dua kali seminggu, aku dan kakak belajar menari Bali.
Di Bukit Hindu, wilayah yang banyak di huni pendatang Bali, rata-rata propesinya jadi Polisi. Entah mengapa namanya Bukit Hindu, apa karena banyak yang beragama Hindu. Tak heran, di pinggir jalan besar Kinibalu, ada Pura besar Pitamaha. 

Masa itu, aku dan teman sebaya,  memang hanya ingin menari, kami berbaur, tak membedakan agama manapun. Intinya kami ingin menari. 
Apalagi saat ada pentas, aku Tim penari Pendet, sebuah kebanggaan Een kecil.

Kalau pentas, Mama jugalah, nemasang pakaian adat Bali kalau ada acara tari, seragam dibeli sendiri, dahulu, nggak ada yang pinjam atau sewa.
.
Kain Balu, kemben panjang warna warni dihias prada emas, melilit di tubuh dari bagian atas sampai pingang. Selendang kuning dililit di atas disampirkan ke bahu. 

Untuk sanggul mengunakan cemara (rambut panjang) diikat lalu diputar membentuk gelung ke samping, ada kembang goyang tipis berbentuk daun warna emas, terselip bunga kamboja di telinga.  
.
.
.
Dari cerita itu, kini baru aku sadari, aku sulit mengungkapkan apa yang ku mau. Perlu telepati batin, atau jeli membaca 'kode' ; apa yang ku mau. Kalau tidak, langsung nyeseknya hati ini, mau bilang, tapi sulit terbuka.

Seingatku, Mama sibuk mendandaniku dan kakak untuk pawai Hari Raya Galungan.
Pakaian adat Bali sudah lengkap, tinggal berangkat.
Tiba waktunya berangkat, aku bercermin melihat hasil akhir dandanan Mama. 
Kemudian, aku menangis sejadi-jadinya, makeup luntur seketika.
"Ada apa lagi, Een. Mau apa?" 
Suara Mama mulai meninggi dan kesal. Tangisku semakin menjadi.
"Ya sudah, tinggal aja," Mama  mengandeng tangan kakak untuk pergi ketempat rombongan penari.
Aku berlari dari kamar, berhenti di teralis jendela. Berulang kali Mama mengajakku ikut.
Aku berkeras menghentak kaki.
Aaahhh...padahal sebenarnya hati ingin ikut, sudah dandan cantik begini. Cuman Mama nggak ngerti, apa yang saya mau,  gincuku kurang merah.

Cuman soal gincu.
Heudeh!
Coba belajar terbuka.

Bukit Hindu, 1981
#Menuliskenangan
#day7 
"Ma, seandainya,  tau apa yang kumau..."

No comments:

Post a Comment