Tuesday, December 19, 2017

Neo by Moritz Guest House, Awal Perjalanan Seorang Menjadi Guide Tour

Kata orang: Bandung itu penuh kenangan, ngagenin. 


Itu benar adanya (perasaan saya sih), di tanah Pasundan itu, ada banyak sanak saudara, sahabat, serta tersimpan kisah yang tak pernah habis-habisnya, sekalipun, secara sadar, cerita diulang-ulang dan itu-itu saja. 

Anehnya, nggak bosen juga mendengarnya. 
Bandung gitu loh!

Tak heran kami selalu pulang ke Bandung. Sekalipun ada keluarga yang bersedia untuk menjadi tempat menginap, tapi  kami memilih nginap di hotel saja, lebih leluasa.
Teras depan (foto: Moritz)

Untuk sekedar tidur sehari atau dua hari di Bandung dengan biaya penginapan murah, saya dan suami memilih menginap di Neo By Moritz Guest House.

Guide Tour


Bukan karena murah saja alasan menginap dimari (sebener biar ngirit)...hehehe, alasan lain, Moritz bagi suami saya, memiliki ikatan batin yang kuat dalam sejarah perjalanan hidupnya.


Kata Akang, tempat inilah, dia belajar mengenal dunia guide tour (pramu wisata) karena rada sulit nyebutnya, saya sebut aja 'gaet'. 

Suatu pekerjaan profesional yang di dunia pariwisata. 
Dari Moritz pula, cerita pahit getir kehidupan di masa muda dimulai. Pahit yang kini manis dikenang dan menjadi bahan tertawa jika diceritakan kembali.


Sekirar 20 tahun yang lalu, mengais rezeki dari brengos.

Suatu istilah berupa menghasilan dari jasa gaet.
"Gimana cara mengambil tip brengos, apa ngambil langsung dari bulenya?"

Kemudian Akang bercerita, ada seninya, setiap berkunjung ke destinasi wisata, biasanya turis diarahkan ketoko-toko penjual cindera mata atau sejenis. Ada perjanjian dengan pemilik toko akan memberi tips  atau point, jika turis-turis diajak dan membeli barang yang dijual.
Setelah transaksi jaul beli selesai, gaet tentu mengajak menuju destinasi lain.
"Excuse me, Sir, my cigarette left bihand" akang  sibuk merogoh saku celana, dan permisi kembali ketoko tadi, padahal itu mah trik untuk mengambil brengos atau tip.
Ujungnya, saya tertawa geli mendengar cerita gaet membawa Bule.

Saat itu, usia Akang masih sangat muda,para gaet itu berkumpul di Moritz, belajar berbagai seluk beluk dunia pariwisata. Mempertajam ketrampilan dalam berbahasa, baik bahasa sendiri, bahasa asing (bahasa Inggris wajib biaa) dan bahasa lokal di objek wisata yang dikunjungi.
Bukan soal bahasa saja, seorang guide tour harus memiliki pengetahuan tentang destinasa wisata yang akan dikunjungi, ramah dengan wisatan yang dibawa, terkadang bisa jadi saling jatuh cinta.

Pantes we, iue akang ruamahhh kacida. Pesona mantan Gaet.


Setelah semua berlalu, mereka masih menyebut diri: gaet jebolan Kebon Jati. 

Kini, rata-rata mereka berpencar menjelajah di berbagai benua, ada yang di Australia, Amerika, Eropa, termasuk Akang yang kemudian terlempar jauh ke Swiss.

"Semua berawal dari Moritz," ujar Akang sambil menghembuskan asap rokok, saya yang duduk di sampingnya memperhatikan raut wajah itu, susah mengartikannya. Yang jelas saya selalu menjadi pendengar setia.
Bersama mantan Gaet Kebon Jati

Perubahan Neo by Moritz
.


Ada rinai hari ini, jelang siang, 25 Oktober 2017, taxi yang mengantarkan kami dari Hotel Topaz tiba di Moritz, lalu kami memesan kamar untuk dua hari ke depan. 



Akang hanya punya waktu 2 minggu untuk holiday, menikmati kebersamaan dengan keluarga..sungguh, waktu yang singkat, tapi mau bagaimana lagi, tak penting kuantitas tapi kualitas yang utama.Sekalipun kami berjauhan, komunikasi selalu lancar. Makanya wajar, kesempatan berdua ini, kami manfaat sebaik-baiknya



Setiba di depan teras Moritz.

Hmmm, ada yang berubah semenjak kami datang Maret bulan lalu. 
Sejak berdiri tahun 1993 baru sekarang Moritz direnovasi agar lebih kekinian.

Perubahan terlihat dari pintu masuk. Pintu dan jendela dibuat lebih besar dengan panel besi kaca. 

Warna dinding di dominasi abu-abu dan hitam. Hiasan berupa beberapa lukisan di dinding pun berubah menjadi mural peta dunia.


Dua meja panjang berjajar, dua deret bangku panjang saling berhadapan, tetap tak berubah, ini bisa menjadi ciri khas Moritz. Biasanya, tamu-tamu yang datang, kebanyakan backpacker dari manca negara rata-rata berusia muda. Mereka suka duduk di bangku ini. Berkumpul sambil memainkan gitar, bernyanyi bersama, atau bermain kartu sambil berbincang. Bule-bule itu sangat nyaman ditempat ini.

Nah tuh! sapa tau kalo menginap dimari, malah dapet jodoh...sapa tau kan.


Perubahan lain, bar kecil di sisi kiri, dulu areal ini terbuka sehingga kita bisa melihat dapur kecil dari luar, sekarang ditutup kayu berwarna hitam, menurut saya cukup bagus, kesannya lebih rapi dan bersih. 

Ada areal ruangan yang saya suka sekali yaitu ruang baca di depan bar. Sayang, pojok pustaka itu sekarang sudah nggak ada lagi, padahal ruang itu sangat homy, bisa bersantai membaca buku dan majalah.

Ruang Utama (foto: Moritz)
Satu lagi, yang menurut saya mengganggu: peletakan meja akar kayu ukuran  besar, tepat di depan pintu masuk. 

Ini meja kalo terantuk jempol kaki, bisa-bisa pingsan seketika loh...yakin deh. 
Secara interior (duileh...sok design) kurang menarik. menganggu lalu-lalang jalan, serta peletakkan dua patung kayu yang warnanya senada dengan meja, coklat, sama sekali tak ada pop artnya. Saran saya, lebih baik daerah itu di kosongkan saja.


Yang berbeda dari Neo by Moritz sekarang buka 24 jam, hingga tamu yang kemalaman masih bisa datang kapan saja.

Sementara Akang mengobrol dengan karyawan yang juga teman lama, saya menuju kamar lantai 2. 

Kamar yang kami pesan untuk dua orang. 
Ranjang kayu dipasang seprei warna biru berhias selendang kain tenun.


"Nyalain AC nya dulu, ya, Teh." 
Kang Reno menekan tombol kipas angin yang menempel di dinding. 

Saya pun tertawa dibuatnya...bus buss busss, angin keluar dengan kencang, lumayan membuat adem ruangan.

Sekalipun habis hujan, udara Bandung masih terasa panas. 
Heran...

Segera saya buka jendela kamar. Hmmmm...

Pemandangan yang berbeda. Lokasi Moritz yang memang berada di perumahan padat penduduk. Tak anehkan, rumah warga saling menempel satu dengan lain. 


Atap rumah yang ditutup berbagai alas untuk menahan bocor. Sekalipun berada di ketinggian lantai 2 Moritz, suara air buangan dari rumah diseberanh itu terdengar jelas, air jatuh ke sungai(kali) kecil. krucuk...krucuk...krucuk. 
Bau sampah dan becek menyengat karena tercampur hujan.

Sisi lain di balik jendela kamar guest House. Tak masalah, mau bagaimana lagi. Yang penting ada kamar untuk tidur.

Rasa kantuk menyerang tiba-tiba, tak biasanya, saya bisa cepat tidur. Lelappp sekali, suara suami masuk kamarpun saya tak dengar. 
Hanya kaget saja, yakok kitaaa...mendengur bersama, tidur bareng di siang nan mendung. 
Badan sama-sama lebar, untungnya masih muat dalam satu ranjang. Bantal tersedia hanya dua buah, kurang cukup, dilapis duapun kurang tebal. 

Untungnya, saya masih punya dada tempat berlabuh manjah, hihihi, so sweet kan. Lalu, memandang wajahnya yang tampak tersenyum.


Rencananya, sore ini kami akan ke Leuwi Gajah, Cimahi. Ada acara syukuran keluarga Akang jam 15.00 lewat sedikit.
Saya bergegas untuk bersiap, maklum perempuan lebih ribet, eikeh kan kudu dandan biar cancikk. Padahal suami lebih suka saya natural saja. 
Oke lah, bebersih dulu ya, Darling. 


Kalo mau jujur, yang menjadi persoalan di kamar ini, kamar mandi dan kloset terbuka, menyatu dengan kamar, tak ada daun pintu. 

Kalo kamar yang lain, ada pintu menyekat kamar mandi dan tidur berupa pintu geser. 
Sedang kamar yang saya tempati, nggak ada daun pintu sekat kamar dan wc. Otomatis ada sedikit bau tak sedap. Suara brat, bret, brottt, cetar membahana, maklum lagi sakit perut. 
Mohon diperhatikan, semoga kelak dipasang pintu dan kipas  menghisap bau. Saran saya ini demi kepuasan penginap.

Selain satu itu, saya nilai semua baguslah. Yailah, dengan biaya Rp 160.000 per malam plus sarapan, kopi, teh manis, roti bakar, wifi gratis, sangat ringan di kantong. 
Kalo cari fasilitas lebih, jangan di sini.

Alasan lain menginap di Moritz karena lokasi Guest House mudah di capai dari stasiun kereta api. Transportasi lainpun mudah ditemui, jalan dikit depan Gardu Jati sudah nemu angkot ke berbagai jurusan. 
Apalagi bagi yang seneng belanja-belanji, ini ono ini ono, ngeborong ya booo, kulakan pakaian ke Pasar Baru, cukup jalan kaki saja. 

Bagi mengemar pekakas perabotam tradisional seperti sapu bambu, pengki, cetakan kue dan banyak lagi, di jalan ini pusat glosirnya. Saya aja beli sapu bambu untuk dijual di Bogor, lumayannn buat nambah jajan bakso...*otak bisnis jalan terusss.


Untuk yang suka berburu kuliner, lebih mudah lagi di sini, karena letak guest House berada di belakang pasar Kebon Jati, yang berjualan makanan banyak.

"Kang, nanti kita makan gudeg komplit plus rempeyek kacang, endes kacida," bisik saya mobil tadi. 

Seingat saya, tujuh bulan lalu, di samping Moritz ada penjual makanan, endes banget. 
Nasi dengan beragam lauk pauk. 

Khususnya, gudeg komplit...enakk banget. Sayang, ternyata, setelah saya sampe tadi, eh! Itu warung samping sudah tutup, gegara Eneng tukang masak pulang kampung, nggak balik lagi...gagal deh makan gudeg.

"Tenang, Darling. Nanti kita makan gudeg langsung ke kota asalnya," rayu meine eheman, oke deh! Siap...asyikkkkk.

Ya sudahlah, makan gudeg batal tapi masih banyak makanan lain di samping Moritz yang bisa dinikmati.

Jejeran pedagang makanan memakai gerobak, soal rasa, tak usah ragu, dijamin...endol surendol deuh!


Saya paling suka makan soto Madura, kuah soto berwarna kuning, suwiran ayam dan kol diiris tipis, ini nih membuat saya kembali

Sangking enaknya, nggak sempat di foto, ludes karena lapar. Ini bukan hoax.


Sisa hujan menitik dari atas teras, sahabat kami, Yani datang sekedar ingin jumpa. Menģobrol sambil menikmati kopi hitam dan gorengan. 

Yani memesan bakso Ceker. Ini ceker cara motong rada beda. Cuman cekernya doang, berpisah dengan pangkal kakinya. Kalo masiu penasaran, hayuklah kemari, ngebakso.

Kemudian kami memesan mobil online untuk meluncur ke Cimahi. 
Di Bandung kami hanya tiga hari saja, kemudian holiday tanpa rencana.

"Mau kemana kitaaaa, Darling?" 


Diam membisu. 
Biar kita dan Tuhan yang tau.


Neo by Moritz Guest House 
Alamat: Jalan Kebon Jati 
Komplek Luxor Permai No. 35 
Bandung







12 comments:

  1. Wah luar biasa perjalanan hidupnya suami mba endah.
    Terimakasih susah berbagi, itu kayaknya Moritz hommie banget ya. Jadi pengen nginep disana klo di Bandung, mana tengah kota gitu kan. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. silahkan menginap di Moritz, deket sama stasion kereta Api Bandung

      Delete
  2. Kok kayaknya asik ya suasananya Moritz itu. Serasa dirumah sendiri
    Btw itu ceker di mangkok bakso menggoda minta dicomot

    ReplyDelete
    Replies
    1. suasananya santai, murah lagi sederhana....apalagi bakso cekernya, sedep nian

      Delete
  3. Wah seru sekali ceritanya. Memang kalau penginapan yg dipakai buat tidur aja gak perlu yg mahal2. Yang penting nyaman dan bersih. Jajananya menggiurkan pisan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dengan harga murah, untuk tidur nyenyak dijaminlah. Kalo.mau makan, banyak gerobak makanan di depan guest house

      Delete
  4. wah boleh dicoba nih teh, deket stasiun lagi. Nuhun mbak een infonyah! ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Naik angkot sekali. Terus jalan masuk komplek luxir. Bisa juga lewat belakang stasiun terus masuk terminal angkot.

      Delete
  5. Oalaah, aku baru tau lho tempat ini Kak. Boleh juga nih dijadiin alternatif nginep di Bandung.

    ReplyDelete
  6. Ahaha. Tau banget rasanya jempol nabrak ujung kaki meja. Dunia seolah berhwnti sebentar, pengen teriak tapi gk ada suaranya.

    Btw. Bisa dicoba nih menginap di Moritz. Klo bilang temennya suami mba Endah bisa dapet diskon gk ya? Ahahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaa untuk menambah akrab, sebut aja temen mbak een istrinya asep mulyadi...

      Delete