Thursday, June 18, 2015

Tradisi Munggahan di Jawa Barat



Setiap datangnya bulan puasa, selalu saja saya menjadi sedih...#Loh !
Sedih, karena saya merasa, ibadah saya masih banyak kekurangan.
Bersama kesedihan selalu ada, kebahagiaan. Bahagia, saya masih diberikan kesempatan umur, untuk bertemu kembali di bulan suci Ramadhan tahun ini, 1436 H, semoga saya bisa munggah(naik) dalam menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.

Jujur,setiap puasa, selalu menghadirkan kenangan masa kecil...
Berkumpul bersama keluarga besar.
Mama, yang sibuk di dapur, baik sahur maupun berbuka puasa.
Bapak yang mengajarkan doa niat puasa, mengajak tarawih ke masjid.
Yang paling khas dari  Mama, dari suara yang kalem sampai berteriak, membangunkan saya,  untuk makan sahur...sekalipun alarm berbunyi nyaring, lebih afdol dan terkaget, mendengar teriakan Mama, sungguh mencetarrrr, melangit membahana.

Bangun dengan terpaksa, raga bergerak, jiwa masih tergeletak di kasur.
Makan, sambil mata ngantuk.
Kalo di inget, masa bocah itu, memang aneh, hawong, tinggal makan aja susah.

Paling seru, menunggu waktu berbuka.
Bukan membantu, malah sibuk, naruh gelas es buah di frezer kulkas, biar dingin.
Nyembunyikan kue, hihihi, takut kehabisan. Di rumah masa kecil, ada 6 orang keluarga inti, dan 8 orang, tante, om yang ikut dari pihak keluarga Bapak dan Mama. Total semua, 14 orang. Bayangkan, rameeeenya bukan main.
Azan Magrib berbunyi...sikatttttt

Setelah berkeluarga, anak-anak pun berjauhan. Dulu, ketika Bapak dan Mama tinggal di Jakarta, sangat mudah untuk mendatangi beliau. Sejak pensiun, bapak dan mama pindah ke Cirebon...Alhamdullillah masih sering pulang.
Semenjak tinggal di Bogor, Jawa Barat. Saya dan saudara lain, jadi ketularan tradisi munggahan. Di Kalimantan tidak ada tradisi ini.

Munggahan, merupakan suatu tradisi untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang di lakukan masyarakat Jawa Barat.
Munggah, berasal dari bahasa Sunda, yang artinya 'naik'. Naik dari bawah ke tempat yang lebih tinggi.

Jadi dalam kaitanya dengan puasa,  naiknya (munggah) dari bulan Syaban ke bulan Ramadhan, serta suatu upaya menaikkan keimanan  dalam waktu sebulan.

Tradisi munggahan, secara syari Islam, memang tidak ada, namun budaya ini tetap dilakukan hingga kini untuk diambil hikmahnya. 
Tujuan munggahan adalah berkumpul bersilaturahmi, menyempatkan waktu dan diri untuk pulang ke rumah keluarga, orangtua atau sanak keluarga yang dituakan, pada hari puasa pertama. Memang,  tidak juga di haruskan untuk datang, namun, ada baiknya, kalau ada kesempatan dan rezeki, datang berkumpul dengan keluarga, pada moment setahun sekali ini. Hari puasa pertama, berkumpul walau sekedar sahur atau berbuka puasa bersama, saling memaafkan dan saling mengingatkan dalam membersihkan diri. Itulah, indahnya munggahan.

Tradisi munggahan di komplek perumahan saya, ditandai dengan ke empat penjual sayur yang biasa ngider, absen. Tadinya, saya pikir mereka demo, karena kenaikan haraga...Eh! ternyata munggahan untuk du hari di kampung, Cigudeg. Jalan-jalan rame pemudik yang punya waktu untuk kembali ke keluarga.

Masih tergiang, kata-kata Mama, "En, nanti nggak usah munggahan aja"
Saya memang tidak munggahan di bulan ini, untuk mengantikannya, sengaja saya menemani Mama selama 16 hari. Sedih rasanya saya harus kembali ke Bogor, padahal dua hari lagi bulan puasa. Ini, saya lakukan, karena di Bogor, ada anak yang juga ingin sahur dan buka puasa bersama saya, kebetulan tidak ada libur kantor.
Entah, tidak di ketahui, sejak kapan tradisi unik ini ada. Melestrarikan kepada generasi penerus seperti tidak bisa lagi. Globalisasi dan modernisasi melunturkan tradisi ini...Sibuk dan sibuk. Bekerja dan tidak ada libur di hari pertama.
Tak mengapa, yang penting masih bisa menelpon ke orangtua, untuk meminta maaf dan doa restu, tidak bisa pulang dan bisa menaikkan nilai ibadah puasa tahun ini. Semua bisa di maklumi.

Ada seorang teman, dia bilang barusan menelpon orang tuanya, dan merasa sedih tidak bisa pulang.
Lalu, dijawab dengan teman lain.
"Kalau saya, mau nelpon kemana, semua sudah tidak ada..."
Kata-kata itu sungguh menyadarkan, mumpung ada waktu, sempatkan pulang sekalipun tidak dibulan puasa, berkunjung ke orang tua.
Tradisi munggahan di tataran sunda ini, mengingatkan, pentingnya silaturahmi.
Semoga tradisi ini tetap lestari.
Atau tergerus oleh jaman.

Semoga cerita ini bermanfaat
Bogor, 18 Juni 2015
1 Ramadhan 1436 H

9 comments:

  1. iya yah, tradisi munggahan sudah jarang sekarang, apa masih relevan yang untuk dipertahanakan???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semakin bergeser, apalagi kalo jaraknya berjauhan, biasanya mudik utk lebaran. Daan untuk munggahan, puasa hari pertama kadang tak masuk hitungan. Kecuali yg jaraknya rumah tak jauh. Apa salahnya ya berkumpul kembalim Kebahagian orangtua melihatbanaknya datang berkunjung..

      Delete
  2. kalau di daerahku namanya megengan *kalau gak salah* bagi2 apem :D

    ReplyDelete
  3. Saya pribadi mengenal tradisi ini sejak saya kecil. Biasanya masakan dikhususkan untuk hari pertama makan sahur, dan biasanya diusahakan seluruh anggota keluarga hadir.
    Sayangnya bulan puasa kali ini saya tidak bisa munggah bersama keluarga. Saya munggah di bekasi, keluarga saya munggah di sukabumi.
    Selamat menjalankan ibadah puasa Mbak...

    Salam dari saya di Sukabumi,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tahun ini saya juga nggak munggah, tapi sudah berkumpul dengan ibu di kampung

      Delete
  4. Di kami suku Ambon, ada juga acara kayak gini,Mbak Een.... tapi g ada istilahnya. Yang jelas rame rame menikmati! Selamat berpuasa,Mbak chantiiik ! :)

    ReplyDelete
  5. Traditions exist to be honored and remembered by ancestors from generation to generation.

    ReplyDelete