Saturday, October 22, 2016

Trancam Nyi Yah

Trancam. woo wooo, situasi yang nggak enak bener tuh, dalam kondisi tertekan karena seseorang, jiwa sedang trancam. Maksa banget kalimatnya ya (harusnya kata yang benar 'terancam'). Heeh dah, saya memang trancam karena eh karena, diet gagal maning, semakin semlohay, gara-gara trancam.
Hehehe, trancam disini mah, salah satu jenis sayuran atau makanan dari Jawa Timur. Mendengar kata trancam aja saya langsung kembali ke masa lalu...ingat kenangan indah masa kecil serta sosok Nyi Yah. 
"En, kamu mah susah move on, segalanya kembali ke masa lalu." Yaiyalah...eikeh gitu loh! masa kecil terlalu indah dilupakan, manissss banget.


Malang tahun 1977
Terlempar kembali ke masa lalu , trancam, masakan yang saya gemari, rasanya gurih dan pedas, walau sayuran dibuat dengan sangat sederhana, tetaplah enak bagi saya, bocah pindahan dari Kalimantan Tengah.
Waktu tinggal di kota Malang, Mama sibuk mengurus bayi, adik bungsu saya. Selain itu kadang Mama pergi ikut kursus kecantikan, rias pengantin dan membuat janur hias. Kami, empat saudara nggak pernah bertingkah aneh-aneh, nurut banget. Dengan kesibukan Mama itu, kadang Mama sering minta tolong Nyi Yah untuk memasak, terserah mau masak apa saja.

Nyik Yah, tetangga  yang tinggal di samping rumah kontrakan kami. Wanita tua bertubuh  mungil, rambutnya tipis digelung kecil, ia mengontrak sepetak kamar. Dinding kamar terbuat dari bilik. Bambudibuat jarang jaraknya, mungkin itu bilik yang harga termurah. Kalau siang, sinar matahari tembus sampai dalam kamar membentuk garis bersinar terang, jika malam apalagi hujan, tiupan angin malam masuk di celah bilik.
Kamar kecil hanya diterangi satu lampu pijar lima watt dan lampu templok, hanya ada kasur tipis digelar. Dapur Nyi Yah berada di belakang mendempel dinding kamarnya,  pawon tungku kayu seadanya. Ia sebatang kara, saya tak pernah bertanya kemana keluarganya, mungkin waktu itu saya masih bocah kelas satu sekolah dasar, tak banyak tanya.

Dalam ingatan saya, sebenarnya Nyi Yah masih muda seusia Mama, sayangnya kehidupan membuat wajahnya terlihat tua. Raut wajahnya teduh, ramah, terlihat sangat sabar...apalagi menghadapi saya yang tak mau diam.
"Meneng toh, nduk..." kalimat itu sering saya dengar, saya balas cengegesan, garuk-garuk rambut, ada kutunya...hihihi, anak jaman dulu rata-rata ternak kutu.

Setiap pagi  Nyi Yah membuat dan menjual dagangan jajan pasar seperti tiwul, gatot, cenil, onggol-onggol gaplek berwarna hitam dari merang dan miler.
Miler, kerupuk opak dari parutan singkong yang ditipiskan, dicetak di bawah tutup panci, lalu dikukus. Bisa dibayangkan, besarnya kerupuk itukan....besarrr, hampir menutupi wajah. Setelah dikukus, barulah dijemur sampai kering.

Saya suka memperhatikan Nyi Yah memasak sepulang sekolah, suka ikut meniup api tungku dengan bambu kecil supaya baranya tetap menyala, sementara Nyi Yah mengoreng miler kering ke dalam wajan, minyaknya banyak. Miler di masukkan dalam plastik besar untuk dijual di pagi hari.

Saya suka miler, singkongnya terasa, gurih dan manis.
Nyi Yah mengambil gula merah kental dengan sendok kecil, lalu,tangan gemulainya menebar gula merah di atas miler dengan gerakan ke kiri dan ke kanan. Gula merah kental  itu berbentuk garis tipis zig zag dipermukaan miler. Biasanya  saya beli satu miler, ukurannya besar bisa dibagi tiga untuk kakak dan adik saya. Maklum uang jajan kami tak banyak, jadi apapun harus dibagi...Jujur, dengan miler dibagi tiga terasa kurang puas, mau nambah nggak punya uang, mau minta ke Nyi Yah, nggak tega, dia orang tak punya, akhirnya hanya bisa menjilati sisa gula merah yang sedikit menempel di jari, itu saja sudah merasa puas.

Dari Nyi Yah, setelah besar, baru saya sadar sekarang, banyak hal yang ia ajarkan pada saya, sekalipun saya hanya melihat apa yang ia lakukan.
Kadang saya ikut mencuci ptongan singkong seukuran telunjuk yang dibelah dua. Diam-diam saya kagum melihat Nyi Yah bekerja sepanjang hari. Nyi Yah dengan sabar menjemur singkong berhari-hari sampai kering, jadilah gaplek. Nanti gaplek akan ditumbuk menjadi tepung sebagai bahan dasar jajanan jualan Nyi Yah.
Hasil membantu Nyi Yah, saya dapat upah, sedikit tiwul yang dipincuk di daun pisang. Sebenarnya, saya lebih suka gatot; singkong berwarna hitam berbau khas. Sayangnya, Nyi Yah lebih sering ngasih tiwul ditabur parutan kelapa...Ya, manut aja sambil ngunyah tiwul, mata ke gatot.

Sebagai bocah, seharian bermain kemana suka, tak pernah Mama mencari, mungkin, Mama terlalu yakin bahwa saya pasti pulang...kalau main, paling ke sawah cari keong, les menari Jawa, ya paling sering ke tempat Nyi Yah.
Jaman dulu, mana ada penculikan seperti jaman sekarang, rasanya aman-aman aja.

Trancam buatan Nyi Yak
Selain jajan pasar, Nyi Yah suka masak khas Jawa Timuran, salah satunya trancam...dulu saya nggak tau, kalau masakan itu namanya trancam, taunya makan aja.

Bocah masa lalu seperti saya, mana pernah protes tentang makanan hari ini, nggak pernah. Pulang sekolah, ganti pakaian, buka tudung di atas meja. Ambil piring, langsung makan yang sudah disediakan.
Tempe gembus berselimut tepung, dan sayur seadanya.
Makanan sederhana, saya tak pernah meminta lebih, sadar betul sebagai anak pegawai negeri sipil. Bapak sedang tugas belajar untuk meraih sarjana penuh di Universitas Negeri Brawijaya.
Sepiring trancam buatan Nyi Yah untuk makan hari ini, tak pernah tak suka, makan apa saja...Nasi dan lauk habis tak tersisa.
Tak heran, dari latar belakang itulah, membuat saya bersaudara mengemari semua makanan , selalu ingin mengenal beragam kuliner baru, wajarlah badan kami rata-rata bongsor, bahkan. Si bungsu tinggi besar, gemuk selebar pintu.

Kembali ke trancam.
Saya tak bisa membedanya trancam Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Yang pasti, bahannya sama, dari sayuran segar dan parutan kelapa. Trancam termasuk salah satu jenis urap. Bedanya trancam, sayur-sayuran semua mentah, jadi rasanya segar, sayurannya kriuk kriuk, ditambah wangi kemangi mentah, amboi, nikmat mana yang kita dustakan, enakkkk...cucok bagi pengemar makanan tradisional, lidah desa.

Pagi ini, seorang tetangga menawarkan hasil kebunnya, bonteng/timun, kacang panjang segar di teras depan rumah.
Melihat sayuran yang baru dipetik , tiba-tiba saya ingin kembali masakan trancam, seperti dibuat Nyi Yah, rasanya sudah lama betul tak memasak trancam.
Kebetulan Pak Ustad menawarkan petai cina di kebun, setelah ditunggu lama. Hujan-hujan pak Ustad datang, meminta maaf nggak bisa memenuhi janji,  petai  dicuri orang, habis semua padahal pagi tadi masih ada.
Ya sudahlah, nggak usah memakai petai cina, cukup kacang panjang, timun dan kemangi, harusnya pake toge pendek tambah makyuss, yayaya...pakai bahan yang ada tanpa meninggalkan pakem resepnya. Ini pun bertanya sama Mama, maklumlah dulu eikeh terlalu bocah untuk nanya langsung ke Nyi Yah.

Resep Trancam Nyi Yah.
Bahan.
* 10 batang kacang panjang segar, potong kecil. Tapi....Suniah pembantu Mama main potong aja, jadi agak panjang, harusnya bulat pendek.
* 3 buah mentimun, buang bijinya, potong kotak kecil
* 15 tangkai daun kemangi
kalau ada toge dan petai bisa ditambahkan ya.
* 200 gram kelapa parut kasar. kukus 15 menit

Bumbu halus
3 siung bawang merah
3 cm kencur (sesuai selera)
1 cm terasi bakar
10 buah cabe rawit
gula, garam dan penyedap rasa sesuai selera

Cara membuat
Bumbu halus dicampur dengan kelapa parut, koreksi rasanya, pas atau belum.
Masukan sayuran dalam wadah besar lalu dicampur dengan kelapa berbumbu tadi, aduk hingga merata, terakhir masukkan daun kemangi, aduk kembali. Hayah....gampang sekali buatnya, trancam segar siap disantap dengan nasih hangat beserta teman setia, ikan akan grejek pipirik.

Nikmat tiada tara, kuliner sederhana yang  sehat.
Jadi teringat Nyi Nyah, kemanakah wanita tua itu, masih hidupkah? 
Semoga suatu saat saya bisa tapak tilas ke desa Ketawang Gde, Malang.

Masih di sini bersama Mama.
Rumah desa  Cikalahang.

4 comments:

  1. mirip urap ya mba, cuma bedanya gak pakai daun ubi
    besok-besok cobain buat ganti menu, makasih mba ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa..bedanya urap sayurannya direbus, ada daun ubi, wortel dan lainnlain. Trancam semua segar. Selamat mencoba ya mbak Vera Sitompul

      Delete
  2. Trancam ini saya belum pernah coba


    baca ini saya juga jadi penasaran gimana kabar nyi yah, mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rasanya segar.
      Insya Allah saya akan tapak tilas kota masa kecil itu. pasti usia Nyi Yah tak jauh beda dengan Mama saya sekitar 70 tahun. Semoga beliau panjanh umur

      Delete