Friday, June 1, 2018

Memeluk Matahari di Bukit Sikunir

Golden Sunrise Sikunir
Jika tak ingat, 
betapa jauhnya aku melangkah. 
Aku akan berhenti di jalan terjal 
namun, aku terus mendaki 

Embun saja belum menyapa 
Aku berdiri memandangmu
Duhai ciptaan Illahi 

Gunung Sindoro

Sumbing
Merbabu 
Merapi

Ketika mentari datang menepati janji
Ingin kupeluk atas jerih payahku. .

Bukit Sikunir.
dalam senyum dua saudara. 


Dua saudara, Dieng, 22 April 2018 [Foto: Ahmad Zaki Maulana]
Berbait, huruf berserak
kurangkai serentak, menjadi sebait puisi.
Bentuk luapan kebahagiaanku .
Seorang perempuan menginjakan kaki pertama kali di atas bukit Sikunir.
(baru naik bukit aja sudah girang, bagaimana kalau naik ke Bulan, mungkin saya langsung pingsan tersedak bahagia)


***
Tepat jam 02.00 dini hari, malam teramat gelap, rombongan travel berjumlah 19 orang meluncur menuju lereng bukit Sikunir.
Sejak dari home stay, kamar depan,  berisi enam perempuan sudah sigap bangun mengantri mandi (air panas), sibuk berdandan.
Ini lucu, naik bukit aja, pake makeup, dimaklumi, people jaman now, segala moment harus diabadikan, dishare di media sosial, wajah harus cantik, bebas dari muka bantal!

Saya lebih dahulu bersiap setelah kakak. Menjadi kebiasaan kami, bangun lebih awal menghindar antri.
Memasukan barang yang harus dibawa. Aduh, ranselnya jadi berat.

Tiba-tiba  jadi ingat pesan anak gadis sebelum berangkat ke Dieng:
Ma, bawa jaket, di sana dingin.
"Bawa topi rajut?" tanya saya. 
Terserahhh, kalo mau bergaya sih, bawa aja. Jawaban yang tanggung, membuat Mama malah bingung

"Bawa syal?"
"Terserahhhh, Mama, ini Dieng, bukan Eropa," tandasnya.
Sebenarnya, saya nggak bisa membayangkan sedingin apa Bukit Sikunir. Saya putuskan, bawa pasmina saja, baju dalaman ketat, ini sering saya pakai untuk menghangatkan badan, jaket dan ransel.
Sebelum menaiki bukit Sikunir, agar nggak kehausan, peserta bisa membeli air mineral. Banyak pedagang yang jual di areal depan gerbang masuk.

Kami menunggu , tour leader membeli tiket masuk dewasa Rp. 15.000,-  Perut sedikit perihhh, sengaja saya nggak sarapan (juga homestay nggak menyediakan sarapan jam 02.00), takut mules di pendakian, emang ada jamban.

Anggota rombongan berkumpul dan dihitung kembali jumlahnya. Kami membentuk lingkaran mendengarkan briefing tour Leader. Kemudian, kami menunduk wajah, berdoa bersama sebelum pendakian dimulai.
Sepoi udara dingin menerpa wajah, nggak terlalu dingin, bisa dibilang sejuk 18 derajat. Saya menutup hidung dengan juntaian jilbab, lumayan sedikit hangat

Dengan mengucapkan  Bismillah, kami berjalan bersama. Disarankan untuk berhenti di beberapa titik beristirahat, jangan dipaksakan kalau tak kuat.
Perjalanan kami di pagi buta, pertama bagi saya.
Ida, kakak perempuan berjalan di depan dengan semangat, dia pengemar olahraga dengan kebugaran prima, melesat jauh berjalan (lupa dengan adiknya, ihikz)

Baru beberapa meter, saya berdiri di teras warung di tepian, dada terasa sesak.
Ingin menertawai diri sendiri, laiyah belum lereng Bukit, baru 5 menitan, saya istirahat dulu, mengatur nafas, dengan nyali ciut, bisa nggak mendaki.

Iqbal, pemandu kami,  pemuda itu masih  sabar menunggu di depan. Ada dua orang masih seirama dengan saya, sama-sama mau nyerah.
"Kuat nggak bu?" 
Pertanyaan itu selalu diulang, aduhhh...malah membakar semangat, tunjukkan pada dunia, kamu bisa!

Kata Iqbal, tengah malam tadi Perbukitan Dieng hujan deras, pantaslah jalan begitu licin.
 Berjalan lenggak lenggok menahan berat badan dan kaki yang melemah. Ya Tuhan, tolonggg. 
Terlanjur sudah untuk mendaki, saya melangkah sambil menghitung setiap anak tangga terbuat dari susunan batu.

Ada sekitar 200 anak tangga. ini cukup mempermudah pendakian, di sisi jalan dipasang pegangan kayu seadanya.
Pada hitungan ke 200 tangga, masih kuat, selanjutnya, tangga terbuat dari tanah, licin, untung saya memakai sendal gunung harusnya sepatu gunung,*ehciee segitunya ya...sebagian orang, malah hanya memakai sendal jepit, berjalan sangat cepat, sudah terbiasa dengan medan, sementara saya, dari awal sudah hah heh hoh sendiri menapaki jalan dibantu tali tambang yang dipasang di tengah untuk gengaman para pendaki.

Makin keatas, tak ada lampu sama sekali, suasana makin  gelap gulita. Berjalan mengandalkan perasaan, mulai meraba-raba jalan, semak belukar di kiri kanan.
Baru sadar, setelah meneggok kebelakang, saya ternyata anggota rombongan yang tertinggal sendirian.
Sumpah, di belakang ngga ada orang. Semakin keatas semakin gelap, cilakaknya, saya nggak bawa senter.
Mulai disergap ketakutan, sendirian, bisa-bisa diketawain kuntilanak ini, emang gelap banget.

"Dikkk...tunggu."
Untungnya pemuda tegap di atas perbukitan itu mau berhenti menunggu saya, padahal nggak kenal sama sekali. Dia memberi penerangan sambil mengarahkan jalan yang harus dilalui...Ya Allah, Sungguh Maha Baik.

Semakin ke atas, udara semakin tipis, napas tak beraturan, dada terasa sesak. Saya berusaha memgaturnya, menghirup dan memghembuskan secara berlahan-laham, tetap saya saya kelelahan. Rasanya pengen menyerah, mau turun lagi, udah jauh, mau naik, suer! udah nggak kuat

"Masih jauh ya, dik" tangan adik itu menarik tangan saya agar bisa naik lagi.
"Bentar lagi bu.." Rasanya kalimat ini dia disebutnya berulang kali, bentar lagi, bentar lagi, memberikan semangat pendaki, walau membatin: sampainya kapann?

Beberapa orang berhenti di etape Mushola untuk beristirahat.
Azan subuh terdengar sayup, mengalun dari desa di bawah perbukitan. Saya memutuskan sholat subuh sambil istirahat, mau lanjut atau tidak, terserah nanti.

Kucuran air wudhu dari pancuran bambu, terasa dingin. Sebelum masuk ke Mushola kecil terbuat dari bilik bambu, saya ditegur untuk bayar Rp. 2.000,- Laaa, saya kan nggak ke wc, cuman wudhu di halaman, harus bayar juga...komersil sekali. huh!

Seusai sholat subuh, sambil berzikir saya memilih duduk sebentar setelah sholat. 

Bisik-bisik peserta bahwa puncak Sikunir mulai dekat, paling 15 menit lagi. 
Lamaaa saya berpikir, berarti perlu kesabaran dan tenaga sedikit lagi, mau menyerah malu, jauh-jauh kemari, masa cuman sampai mushola...apa kata anak cucu saya nanti, lebay deh!

Menarik nafas panjang, kembali mengumpulkan tenaga yang tersisa, saya berjalan hati-hati, jalan tanah benar-benar payah.

15 menit kemudian.

Saya tersandar di tepian pendopo kayu, seorang diri (padahal sih banyak orang), merasa sendiri karena terpisah dari rombongan, mau teriak memanggil nama kakak: Idaaaaaa...*malu*


Perjalanan 2 jam yang melelahkan. 
Kembali saya menarik nafas menghembuskan dari mulut agar irama jantung lebih stabil
"Woiii, ora ono kloso" suara khas terdengar, (tak ada tikar) terpaksa harus berdiri dengan dengkul gemetaran.
Masih untung saya masih bisa duduk menyempil di pendopo kecil.


Atap pendopo tanpa dinding ini, sebagian sudah terbang, kondisinya memprihatinkan.
"Bu een...hayuk kesana," suara yang saya kenal, Iqbal. Rupanya pemuda ini mencari-cari saya, rombongan yang terpisah. Terpaksa jalan lagi ke tempat agak tinggi. Benar juga, di sana rombongan berkumpul.

Senyum lebar kakak saya tampak lega melihat kedatangan saya, mungkin dia was-was, dikira adiknya tertinggal atau jatuh ke jurang.

Beberapa menit kemudian. 

Di atas bukit Sikunir, adalah tempat terbaik menikmati golden sunrise. Seandainya di sepanjang bukit ini disediakan kursi, pasti lebih menyenangkan menanti matahari terbit.
Yang di nanti telah tiba, di ufuk timur, Matahari menampakkan dirinya. Pelan kabut mulai menipis, memandang menakjudkan terlihat di depan mata. 


Deretan gunung terbentang Gunung Sindoro, gunung Sumbing, Merbabu dan Merapi.
Di sepanjang puncak dan lereng, petani menanam sayur. Pola tanah dibuat berundak-undak, tak terbayang betapa kuat fisik mereka, saban hari naik turun bukit.

Warna merah tembaga, langit mulai membiru, awan berarak tanda pagi menjelang. Masya Allah, tak terkira keindahan ciptaan Allah, memilik alam semesta.
Bersusah payah hingga pada satu titik, ingin bertakbir, Allahu Akbar!
Ya Allah,  saya sanggup mematah halangan sejak berangkat. Ciut tak bernyali, tenyata saya bisa.

Di puncak Sikunir terpekur sendiri, terlunasi 
rasa lelah pendakian tadi. 
Setelah cuaca terang, baru sadar, ada ratusan orang bersama saya, berarti mereka berangkat lebih dini hari lagi. 

Mengejar matahari, mengabadikan dalam foto-foto diri yang tak henti-henti diabadikan. 


Tak henti-hentinya saya mengagumi keindahan ciptaan Allah, memilik seluruh alam semesta, lukisan terindah tiada duanya. Masya Allah. 

Paling tidak, saya bisa bercerita tentang Bukit Sikunir. Jikalau disuruh kembali, pasti mikir dua kali, cukup sekali saja...hihihi, nggak kuat.

Puas memandang panorama di atas Bukit Sikunir, waktunya kami kembali.


Menuruni bukit Sikunir tak sepayah ketika naik.
Di ujung jalan tangga batu mendekati gerbang masuk.
..Sayang, opo kuwe krunggu, jeritan hatiku... Seniman jalanan menyanyikan lagu, sungguh membuat hati yang gembira ini menjadi bertambah gembira.

Tiba di gerbang Sikunir, barulah terlihat jelas  pemandangan sesungguhnya dibanding waktu kami berangkat di pagi buta.

Kampung Sikunir.



Banyak wisatawan yang berkunjung ke Bukit Sikunir, sejak pagi hari perekonomian penduduk sudah bergeliat. Warga  menjajakan berbagai makanan dan camilan, nasi goreng, mi ongklok, soto ayam, semur kentang kecil (kenthol), tempe kemul, jamur krispi dan berbagai minuman hangat: teh, kopi dan Purwaceng. 
(Baca juga: Sensasi Kuliner Khas Dataran Tinggi Dieng)

Desa ini namanya Desa Sembungan, merupakan desa tertinggi di Jawa dengan ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut.
Dikejauhan, ada sebuah telaga berwarna hijau namanya Telaga Cebong, tepatnya di belakang halaman parkiran gerbang masuk Sikunir. 

Konon dinamakan Telaga Cebong, karena bentuk telaga mirip cebong dan terdapat banyak kecebong tinggal, beranakpinak, makmur sentosa di telaga ini.

Sebuah baliho promosi ukuran besar terpasang disamping telaga:
"Naik Kapal menuju Bukit Sikunir." 
Woww...gimana caranya?
Pokoknya, perlu dicoba bagi yang hendak ke bukit Sikunir.

Pesan diakhir cerita ini, sebelum mendaki bukit Sikunir, jangan lupa bawa senterrr, gelap booo.

Oke deh, sampai jumpa pada cerita perjalanan lain.
Salam manis dari Mama yang ngos-ngosan
-Een Endah-





























22 comments:

  1. sudah lama mau ke sini tp belum kesampaian saja

    ReplyDelete
  2. Jadi kangen Dieng.. Jadi inget waktu honeymoon ke sini ahaha

    ReplyDelete
  3. Jadi kangen Dieng.. Jadi inget waktu honeymoon ke sini ahaha

    ReplyDelete
  4. wahh keren bangeeet viewnya mbak een

    ReplyDelete
  5. Wah rame ya banyak makanan... Dan sepertinya enak tinggal di desa sembungan yang adem hehehe :D

    Cheers,
    Dee - heydeerahma.com

    ReplyDelete
  6. Ah perjuangan Naik , ngos2an berbuah pemandangan indah dan pengalaman seru. Itulah kenapa bisa nagih yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, padahal jelas cape setengah mati. Nanti saya akan ke Bromo...tau deh, sanggup apa tidak

      Delete
  7. Masya Allah, bahagianyaa bisa menyambut sang mentari pagi ya mbaak. momen sunrise selalu istimewa . bukit sikunirr salah satu list wisata yang belum kesampean saya kunjungi, semogaa next time benar-benar kesana aamiin :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayukkk mendaki, mumpung masih usia muda. Semangatttt

      Delete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Masya Allah senengnya naik bukit dan liat pergantian gelap ke siang. Pengen jg kapan2 ke Dieng, biar bisa mampir ke Sikunir mbak TFS

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harus dikkk, bagus panoramanya, yang seru sih rasanya mendakinya

      Delete
  10. Mbak Een, membaca cerita pendakiannya saja aku sudah sesak napas duluan, gimana kalau ikutan mendaki kali ya? Namun alhamdulillah, segala kelelahan dan penderitaan selama pendakian terbayar ya..Indah benar sunrise-nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah hah heh hoh sepanjang jalannn hahahaha, sedep deh

      Delete
  11. aku belum kesana ihh.. mau ksana aah

    ReplyDelete
  12. Ahaha, memang tipikal orang di gunung ya begitu. Setiap kali ditanya apakah masih jauh jalan menuju destinasi yg ingin kita tuju, pasti dijawab "sebentar lagi". Padahal sih masih jauh banget.


    Untuk bisa mendaki memang perlu persiapan fisik. Kalau tidak bisa membawa beban, paling tidak sanggup untuk mengangkat badan.

    Terima kasih sudah berbagi cerita serunya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bawa badan aja setengah mati, tapi sudah terlanjur mendaki

      Delete