Sunday, January 3, 2016

Memetik Kalakei di Rumah Papan [Part 3]



Sebuah perjalanan, selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Sebelum berangkat, banyak keinginan di benak saya, untuk kembali bertemu Mina(tante), sepupu serta menikmati berbagai budaya dan kuliner khas Dayak Ngaju.
Itulah, sebagian catatan terakhir saya, tapak tilas ke kampung halaman di Kuala Kurun, setahun yang lalu. Klik disini
Kembali ke kampung halaman, untuk menepati janji pada almarhum Bapak, yang selalu merindukan ingin pulang ke Kurun, tempat termanis pertemuannya dengan ibu saya, perempuan Dayak Ngaju.


Dilahirkan dari Bapak berdarah Sunda Cirebon, dan beribu dari Kalimantan Tengah, serta sebagian hidup di tanah Borneo, tak heran, selera citarasa di lidah saya bercampur aduk, antara masakan Dayak, lalapan Sunda dan sebagian Jawa.
Orang tuaku di kala muda
Saya kembali mengenang almarhum Bapak, pencinta berat kuliner khas Dayak Ngaju, wajarlah, hampir sebagian hidup Bapak, tinggal di Kalimantan Tengah.

"Bapak, mau makan apa hari ini?" tanya saya.

Semenjak penyandang stroke, semua kemauannya harus dituruti. Terjadi perubahan sikap, tadinya Beliau, sosok yang sangat pendiam, semenjak terserang stroke, Bapak malah suka bercerita, lebih lagi, kalau mengenang saat muda menjadi Rimbawan, menjelajah hutan belantara Kalimantan, ceritanya tak pernah habis.

"Juhu Asem umbut singkah," sahutnya mantap. 

Haduh, dimana kita mencari di tanah Jawa ini. Mana ada umbut singkah? rotan muda.
Hening, Bapak berpikir sejenak.
"Yaudah, sambal tempuyak aja."  
Ampun, mana ada tempuyak musim ini.
Biasanya, Ibu saya suka membuat tempuyak di musim durian di Cirebon. Biji durian dipisahkan dengan daging buah mempergunakan sarung tangan plastik. Daging durian yang terkumpul ditempatkan ke dalam toples, diberi garam. Tutup dan akan berfermentasi menjadi durian asam(tempuyak). 
Mendengar semua nggak ada, selera makannya langsung hilang. Untuk mengantikan Juhu Asem Umbut singkah, dibuatlah sayur asam gurami dengan batang onje. Bumbunya tetap khas Dayak, ikannya saja diganti gurami bisa juga ikan patin. Klik di sini

Kalau sudah begitu, Bapak pasti makan dengan lahap. Menemani Bapak makan, ada keseruan tersendiri, Bapak suka bercerita tentang pohon-pohon besar di hutan. Bercerita, tentang ular sanca di masa dahulu, besarnya sebesar pohon kelapa. Bapak juga bercerita pertemuan dengan ibu, beliau pandai menulis puisi. 

Saya langsung sedih jika mengingat bapak. Kangen sekali, kehilangan seseorang yang disayang, yang berpulang untuk selamanya, membuat saya sedih namun harus ikhlas.

Kembali keperjalanan Palangka Raya-Kuala Kurun. Sesampai di rumah Mina Mawar, adik perempuan ibu saya. Kami disambut dengan suka cita, semua tersaji, dari ikan bakar, sambal tempuyak, juhu asem umbut singkah, beras Kalimantan.

Beras Kalimantan?

Bila pertama kali ke Kalimantan, jangan merasa heran dengan rasa berasnya. Nasinya nggak kompak dan kurang pulen. Sekalipun berasnya  pyar, ini beras lokal favorit di Kalimantan, namanya beras karang dukuh, beras siam unus, beras siam mayang, harga sekilo (nggak memakai liter) cukup mahal, sekitar Rp. 13.000,- pernah menembus harga Rp. 20.000 per kilo. Agar nasi sedikit pulen, menyesuaikan selera Sunda, proses memasak beras bisa ditambah airnya agak banyak.

Lain lagi, kalau membeli telur ayam atau bebek. 
"Bu, beli telur satu kilo."
Penjual telur di Kalimantan, malah bingung. Biasanya yang diukur satuan kilo itu, beras, gula, bukan telur seperti di Pulau Jawa. Karena eh karena,  telur di dihitung perbutir. Hebatnya kalau beli langsung satu kertas telur, sebanyak 30 butir.
Inilah berbagai perbedaan, di Pulau Jawa dan Kalimantan dalam satuan ukur. 

Salah satu, masakan yang ngangeni saya, juhu Kalakai, atau sayur kalakai. Paku-pakuan ini tumbuh di lahan gambut, dan nggak ada dipulau Jawa, only in Borneo. Mina atau tante, adik-adik ibu saya, dengan sigap memetik daun kalakei. Ramai nian dapur di rumah papan, ngobrol dengan bahasa Dayak. Sebenarnya, saya merugi, karena saya nggak terlalu fasih mempergunakan bahasa Dayak, sedang bahasa Sunda juga nanggung, malah pinter bahasa Jawa.



Mengenang masa lalu sembari memetik kalakei
Kalakei atau Kalakei, mengandung serat yang tinggi, dan baik untuk menambah darah, khususnya bagi ibu sehabis melahirkan.
Cara memasaknya, sangat mudah. Tumis bumbu halus bawang merah, bawang putih, merica hingga harum  beri sedikit air, masukkan kalakei. Masak hingga matang. Sayur ini aslinya, bumbu nggak ditumis dan berkuah banyak, namun semua tergantung selera. Klik di sini
Juhu dan lauk

Selama empat hari di kampung halaman, rasanya tak puas, terlalu sebentar. Tapi, keterbatasan waktu, kami harus kembali ke kota Palangka Raya dan pulang kembali ke Jakarta. 

Tiba di Palangka Raya di bulan itu, ditandai kenaikan harga BBM. Se-Indonesia heboh, hanya di Kalimantan Tengah, adem anyem saja. Bagi mereka, berapapun harga bensin, mereka sanggup membeli, asal barangnya ada. Warga yang damai tak pernah menggugat.
Woles aja ya Mas, berapapun kenaikkan harga Bensin
Di kota Palangka Raya, kami menginap di rumah adik Ibu saya, Tante Pancar. Ibu saya, anak ke dua dari 9 saudara, rata-rata, dulu adik ibu tinggal dan sekolah di rumah kami di Palangka Raya, jadi tak heran, semua menanti kedatangan ibu saya saat pulang kampung. 
Palangka Raya, ,rumah tante yang sederhana tapi nyaman
Rumah  tante terbuat dari papan  bercat hijau, beratap seng, sederhana, namun penghuninya sangat ramah menyambut kami. Tidur dengan lelap, dimanapun berada, adalah surga mewah tak terbeli berada di rumah saudara. 
Yang saya suka saat turun hujan.
Airnya jatuh dengan bunyi yang nyaring menimpa seng. Sesuatu yang jarang saya temui di Bogor. Hujan begitu tenang, berbeda dengan di Bogor, hujan lebat selalu diiringi gemuruh suara kilat, dasyat sekali. Di Palangka Raya, hujannya nyaman menarik selimut, tanpa jantung terkaget-kaget.

Selain kuliner khas Dayak, makanan favorit saya, Lontong iwak haruan. Ini umumnya untuk sarapan pagi. Kuliner ini berasal dari Banjarmasin namun sudah menjadi bagian kuliner di Palangka Raya. 

Lontong terbuat dari aronan nasi yang dibungkus daun pisang. Rasanya sama seperti lontong pada umumnya, bedanya hanya bentuk lontong segitiga. Cara penyajiannya, lontong disiram dengan sayur nangka bersantan kental. Yang menjadi cirikhas ini lontong, bikin saya kangen, adalah lauk pendampingnya berupa: Masak habang iwak haruan, atau masak merah ikan gabus. Bumbu masak merah terbuat dari cabe merah besar kering. Ikan Gabus bisa diganti dengan telur, daging sapi atau ayam. Suka-suka pembeli. Kalo saya, lebih memilih ikan haruan. 
Nah ini, penampakannya. Soal rasanya....Nyaman banar, enak sekali. Sedap.

Penasaran?
Berwisatalah ke Kalimantan Tengah.











2 comments:

  1. Aku selalu pingin pergi jalan2 ke kalimantan. Katanya rasa masakan dan budayanya masih mirip dengan sumatra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama, kebetulan ipar saya orang Karo. jadi masakannya hampir sama, tumbuk daun singkong.

      Delete