Saturday, March 5, 2022

Filosofi Papeda dalam Keluarga

"Bu Een, kalo makan papeda sepiring berdua dengan kekasih, bakal lengket selamanya," kata Bu Seno, sambil mengambil sesendok papeda.

Hmmm, gitu ya, aku pun takjud mendengarnya. Benarkah?
Papeda, testurnya lengket seperti lem, bila berdua memakannya, dua hamba Allah akan lengket, tak akan terpisahkan sampai ujung usia. 
Noted! kalau Akang pulang dari rantau,  kuhidangkan papeda saja.
Kemudian, akupun memandang sepanci papeda yang bentuknya bergerindir, mirip lem kertas.
Ini papeda gagal, dibuat nggak pakai takaran, jadi hasilnya sedikit aneh. Biasanya bubur berbahan sagu aren itu bertestur lembut, kenyal dan nggak gampang putus. 
Cara mengambilnya juga unik, papeda digulung  dengan sendok kayu (bambu kecil dua bilah), lalu taruh di atas piring.
Rasa papeda yang tawar lebih cocok disantap dengan ikan bumbu kuning, tambahkan perasan jeruk...seger.

Awalnya, sebagai orang turunan Sunda Dayak, aku belum biasa memakan papeda, lengket. 
Setelah Bu Seno mengajarkan cara menikmati papeda, suap ke mulut, diamkan, nikmati, telan tanpa dikunyah, glek! meluncur ke tenggorokkan, ternyata, ada sensasinya; nikmat, enak dan bikin ketagihan.

Filosofi Papeda
Dalam tradisi Papua, papeda memiliki filosofi yang mendalam. 
Saat menyantap papeda, satu keluarga biasanya menyantap dengan dilengkapi helai dan hote.
Helai adalah peralatan makan tradisional dari kayu untuk menyajikan papeda, sedangkan hote adalah piring kayu untuk menyantap papeda.
Penggunaan dua alat ini membuat makna papeda semakin berarti.

Masyarakat Sentani menyebut tradisi makan papeda dari satu piring yang sama dalam satu keluarga sebagai helai mbai hote mbai. Mbai berarti satu.

Filosofi papeda yang mendalam ini, makan dalam satu keluarga, akan menyimpan cerita manis, untuk anak dan cucu di masa depan.
Bagi orang Papua, acara makan keluarga menandai sebagai ikatan kekeluargaan sebagai ruang diskusi antara orang tua dan anak, wadah kecil untuk bermusyawarah.

Papeda bukan hanya di Papua saja, di Pulau Seram, Maluku, Suku Nuaulu juga mengonsumsi  papeda (sonar monne). 
Makanan ini disakralkan dalam ritual perayaan masa pubertas seorang gadis. 
Suku Nuaulu dan Suku Huaulu melarang wanita haid memasak papeda, karena menurut mereka proses merebus sagu menjadi papeda dianggap tabu.

Filosofi Papeda bagi Ibu Ceria
Sama halnya dengan kami, ibu-ibu ceria, makan papeda di bawah Pohon Pinus adalah ruang untuk melepas penat akan rutinitas ibu rumah tangga yang tak pernah selesai.
Bangun pagi lebih dahulu, tidur paling belakang, kerja dan kerja.
Makanan khas Papua ini menandai kebersamaan kami, saling bercerita, tertawa lepas.
Dunia yang sudah susah jangan ditambah susah. 
Dinikmati dengan rasa syukur maka Allah akan menambah nikmat yang lebih banyak.

Sini-sini, kubisikkin; jangan lupakan, makan papeda sepiring berdua, dijamin lengket, bertambah mesra.
-Salam manis, dari yang sudah manis-

2 comments:

  1. Rindu par makang papeda deng ikang kua kuning. Sadaaap ee!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nantinya mbak. Sy pesankan tepung sagunya(nggak janji)

      Delete