Thursday, December 15, 2016

Diayun Ombak menuju Pulau Pari [Wisata Pulau Part 1]

Juli, 6 bulan yang lalu, seusai lebaran.
Sebelum subuh, saya bergegas berangkat dari rumah Bogor menuju Jakarta. Rencananya, dua hari satu malam, saya akan berwisata ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Sejujurnya, badan masih raringsek sejak mudik lebaran belum pernah istirahat, sibuk gitulah...*Halahh, sok sibuk...hehehe.
Namun, apalah daya, paket wisata murah meriah ke Pulau Pari sudah dibeli anak gadis, susah ditolak. 

"Ayolah ,Ma, sesekali liburan, melihat sisi lain Jakarta. Ini wisata pulau murah meriah, Maaa." 
Duluuu, saya juga pernah wisata ke Pulau Pramuka bersama rombongan ibu-ibu naik kapal cepat Badak laut dari Marina Ancol.

Laaa ini berangkat ke Pulau Pari dari pelabuhan tradisional Muara Angke. Aihhh, petualangannya pasti lebih serunya. Okelah kita berangkat dengan gembira sembari memakai sendal jepit warna biru andalan saya, dua baju kaos, mukena, legging. Yang mau berenang dan snorkeling, silahkan bawa baju renang, peralatan mandi, dan sunblock.


Jalan lancar jaya, masih sepi, memasuki kawasan Muara Angke, langit masih gelap, lampu jalan mulai bersinar redup. 

Ini pertama kali saya ke Muara Angke. Waduh, sumpeh! terpana melihat kenyataan, jalan becek di genangin sisa air pasang, bau amis bercampur sampah basah, bau menyengat sekali menembus celah jendela mobil pagi itu.

Sesuai jadwal direncanakan, kami tiba tepat jam 5.30. Kapal akan berangkat jam 6 tepat, dijadwalkan rombongan akan tiba di pulau jam 9 wib.
Seperti biasa, si gadis memberi petunjuk ini itu *perasaan dia lebih was-was daripada Mamanya. 

"Ingat ya, Maa. Entar kalau sudah masuk kapal, Mama langsung pakai rompi pelampung, Mama kan nggak bisa berenang."
Saya cuman mengangguk sambil menerima tas selempang warna hitam berisi dua lempar baju, dan satu tas berisi makanan. Lalu tas itu saya serahkan ke Akang, eikeh pun berlenggang.

Turun dari mobil kami menuju lokasi pemberangkatan. Saya hanya menunggu karena semua di urus Ica anak saya. Dia sibuk menelpon rombongan travel. Setelah dipastikan, rombongan berkumpul, meeting point di bawah tiang bendera. 

Bendera usang berkibar dibuai angin yang tak sedap...*Semoga kedepan. Masalah bau ini bisa diatasi oleh Pemeritah DKI jakarta, karena cukup penganggu. Pagi ini banyak juga peminat yang akan berlibur ke pulau pulau di gugusan kepulauan Seribu Jakarta. 

Beberapa menit kemudian saya diperkenalkan dengan Bidu, ketua rombongan, Penduduk asli Pulau Pari. 

Pejalanan wisata pulau baru dimulai. Sembari melambai pada si gadis yang tak ikut berlibur bersama kami.

"Mari ikuti saya."
Suara Pak Bidu hampir tak terdengar, lembut sekali atau telinga saya yang kurang pendengaran. Saya mengiringi dari belakang menuju dermaga. 

Jejeran kapal kayu milik masyarakat pulau bersandar di pingir pelabuhan. 
Alahmak, beneran butuh perjuangan sampai ke kapal yang akan membawa kami ke Pulau Pari. Setengah mati saya meniti pinggir badan perahu kayu agar tetap seimbang. 

Gelombang mengoyang kapal bertambah tambah cemas saya. Bayangkan kalo kepleset trus jatuh, mau ditaruh di mana muka, lagian saya nggak bisa berenang. Setelah meniti empat kapal kayu, saling berpegangan dari geladak ke geladak. Sebuah alasan tak sengaja untuk menciptakan suasana romantis di antara kami. Ealahhhh tenyata, perahu yang akan kami tumpangi berada di ujung terluar deretan kapal. 

Perahu kayu bercat putih dengan lis warna biru tampak kusam. Perahu nelayan yang berubah fungsi menjadi kapal angkutan masyarakat pulau ke Jakarta sejak ramainya wisata ke pulau. kapal kayu yang dulu bisa dihitung dengan jari, kini berjumlah lebih dari sepuluh kapal.

Kapal berlantai dua tampak tua. Lantai bawah, di sediakan deretan kursi. Dengan berlapis kulit sistetis hitam, kursi di susun kearah depan seperti di dalam bus. Sedang di lantai atas, duduk lesehan beralas terpal plastik tanpa dinding. 

Menurut petunjuk si gadis yang sering ke pulau, saya lebih baik duduk di atas supaya nggak mabuk dan anginnya mantaf. Kalau terjadi apa-apa nggak terjebak di dalam perut kapal, tinggal meloncat ke laut. Kalau bisa lari ke geladak depan sembari merentang tangan tangan siga film Titanic. 

Untuk naik ke lantai atas perlu menarik nafas dulu, tangga kayu kecil banget, alhamdulillah..pas di badan saya.
Buru-buru datang, malah masih kosong

Tiba di bagian atas kapal,  baru ada dua orang yang datang. Agak mengherankan, rencananya jadwal berangkat jam 06.00 kapal berangkat, ini... masih sepi blas, si akang nyengir, dasar jam karet, kita datang meni buru-buru tadi, ternyataaa, ya begitulah...molor waktunya.
"Enjoy atuh Kang, nikmati saja, kumaha deu, rek ngojai ka Pulau," rayu saya sambil melihatnya pergi membeli kopi yang dijajakan di bagian bawah kapal.

Celingak celinguk mencari rompi pelampung. Mau bertanya ke awak kapal, nggak ada satupun awak kapal. Rada nelangsa, melihat kenyataan, ternyata pelampung nggak ada, yang adanya sekoci yang digantung di langit kapal. Sekoci kecil dari steorofom. Mungkin sekoci-sekocian sebagai syarat aja.

"Kumaha ieu kang, teu aya pelampung na." keluh saya sedikit panik.
"Ya sudah, kalo ada apa-apa. kita berenang..." sahutnya sambil menyodor kopi di gelas plastik, sayaaaa, hanya bisa nyengir. Pasrah aja deh, mau balik pulang si Ica pasti udah ngebut bawa mobil ke Bogor.

Denger jawaban itu, sebenernya saya langsung lemes.  Repot juga jadi orang nggak bisa berenang, main ke pulau cuman modal nekad dan baca doa. Bismillah. 
Kapan-kapan kalau mau ke Pulau lagi lewat Muara Angke bawa rompi pelampung sendiri, dan perjalanan laut ini nggak di tanggung asuransi, kalau terjadi musibah, nggak tau deh.

***

Berdesakan di kapal kayu
Waktu berlanjut, matahari muncul di garis muara pantai, indahhh sekali, berwarna merah tembaga berpadu kuning. Masya Allah, keindahan  sisi lain kota Jakarta.
Sisi lain Jakarta
Perbedaan yang menyolok, saya duduk di kapal kayu

Rombongan wisata pulau mulai berdatangan, lantai atas jadi sesak seperti rombongan pengungsi perahu kayu . Suara riuh canda para ibu, dan bocah yang rewel minta ini itu. 
Mirip manusia perahu

Kapal mulai terasa panas, jam 9 belum juga berangkat, harusnya kami sudah tiba Pulau Pari. Perkiraan saya meleset jauh, baju tebal dan pasmina yang saya bawa, tak ada gunanya. Kirain, naik kapal dingin, ternyata di kapal malah gerah banget. 

Di sela menunggu, kami sesama penumpang saling berbincang akrab. Indonesia banget kan. Baru kenal sudah heboh. Beberapa rombongan yang sudah biasa berwisata ke pulau, membawa banyak makanan. lumpia, resoles, arem, pop mie, kopi dan minuman. Baru saya sadar kurang bersiapan. Untung aja, saya bawa nasi dan sedikit lauk serta dua botol air mineral...kapan-kapan, harus bawa bekal yang banyak. Karena yaaa begini, kapal telat berangkat. Bekal dimakan sebelum berangkat. 

Seorang ibu menawarkan arem arem dan risoles dengan ramah. Apa wajah saya tampak kelaparan, saya membatin. Emang sih belum makan apa apa.Alhamdulilah rezeki anak sholehah, lagi-lagi batin saya. Kadang saya bangga dengan karakter orang Indonesia, ramah dan cepat akrab. Untuk balas jasa saya menawarkan beberapa coklat yang dibawa akang dari Swiss. 


Anak kecil di samping saya berteriak kehausan, terpaksa saya memberikan sisa minuman.Selama perjalanan saya kehausan, heudeh.
Kapal belum juga berangkat...berapa lama lagi kah?


Setelah bersabar menunggu, kurang lebih empat jam, kapal kayu pun mulai berlayar menyusuri teluk Jakarta. Semakin lama, gelombang mulai memainkan kapal. Dasyatnya ombak berayun-ayun. Tak biasanya, saya  mabuk laut. Kapal berisi penumpang melebihi kapasitas. Rasanya kapal mau pecah, bunyi kayu di badan kapal berserak...krekkk...krekkk...krekkkk...seram sekali. 

Di tengah gelisah takut kapalnya karam *lebay sih*, suara nyanyian diiringi denting pemuda meramaikan suasana meredakan kegalauan saya. Untungnya, lagi-lagi untung, tadi bawa minyak angin, gosok kiri, kanan di sisi leher. Lumayanlah, saya nggak jadi muntah beneran, padahal bapak di sebelah saya muntah hebat, huueekk! 

Nggak biasanya, saya mabuk begini, tersiksa sekali. Untung, lagi-lagi untung, saya nggak sendirian, terpaksa nih, minta pijat pundak supaya nggak pingsan.

Setelah dua jam dipermainkan ombak dibuai angin. Kami sampai juga tengah hari. 
Pemandangan yang cukup bagus pantaslah gugusan kepulauan seribu dinamakan Maldives van Java
Sekarang, saya berada di pulau di tengah laut. Saya merasa sangat kecil, Ya Allah...Selalu ada pelajaran dalam setiap perjalanan, betapa besarnya ciptaan Allah, alam semesta berserta isinya.

Darmaga Pulau Pari tak seindah di Pulau Pramuka, kurang terawat. 

Sembari antri, kami turun berhati-hati dari kapal kayu menuju daratan. Pak Bidu lelaki ceking manis mengumpulkan rombongan sebanyak 15 orang, kemudian membawa kami menuju homestay yang telah disediakan.

Memasuki kawasan rumah penduduk Pulau Pari, memang menarik. Melewati jalan kecil yang diberi papping, kiri kanan bersusun rumah penduduk pulau yang terlihat rapi. Deretan rumah beton tempat menginap inap atau homestay berderet menghadap jalan. 
Di sisi utara terbagi rumah rumah penduduk berdinding bilik, perbedaan yang menyolok.

Lima belas orang berdiri di halaman homestay, disamping, berderet pula lima belas sepeda mini berkeranjang. warna pink. Pak Bidu maju kedepan, memberi arahan pada kami. 

"Maaf, Pak Bidu ngomong apa ya?" Saya langsung maju ke depan. Laaa... suaranya sengau nggak jelas terdengar. Setelah kembali dia menjelaskan, barulah saya paham. 
Dannn... saya menyambung berita ke rombongan. Begini ya, bahwa homestay ini terdiri dua kamar. Dan disediakan beberapa kasur kalau kurang bisa tambah kasur lagi. Silahkan diatur sendiri untuk tempat tidurnya. Sepeda mini warna pink dipersilahkan dipergunakan bebas merdeka dibawa kemana saja.

Lagi-lagi kekaguman saya dengan bangsa sendiri, 15 orang yang baru kenal bisa langsung akrab, masing masing saling memperkenalkan diri dari mana berasal, nama dan apa saja, keakraban yang mengalir begitu saja, seperti acara keluarga.


Sambil menunggu acara selanjutnya, saya dan akang duduk di warung sebelah, tersedia mie goreng dan bakso semua hanya Rp. 15.000.- Wisata yang benar-benar murah meriah. 




Di Pulau Pari, mulai tumbuh homestay bak jamur di musim hujan, semua karena semakin banyaknya wisatawan berlibur ke pulau. 
Paket wisata pulau juga beragam, yang pasti terjangkau di semua kalangan. 
Homestay tempat kami menginap, terdiri dari dua kamar, ruang tamu dan keluarga, dua kamar mandi, TV, dispenser serta dua pendingin ruangan yang cukup menyejukkan. Dengan paket wisata pulau sebesar Rp 376.000 per orang, untuk dua hari satu malam ini termasuk murah... ini termasuk transport PP, homestay AC, sepeda, perlengkapan snorkeling, dan BBQ. 


Puas berbincang kami dipersilahkan makan siang bersama dengan prasmanan. Ikan goreng, sayur sop, sambel, kerupuk, semangka dan es buah... Rasanyaa sangat lumayanlah untuk menganti perut yang sudah keroncongan. Walau ikan goreng digigit terasa kayu, ngegorengnya terlalu kering.


Selesai makan, rombongan yang rata-rata berusia muda, segera berganti baju renang. Sat per satu diberi seperangkat alat snorkeling, rompi pelampung, kaca mata dan alat nafas manual. Rombongan akan naik perahu waktu tempuh kurang lebih 45 menit menuju ke pulau, spot snorkeling. Waktu snorkeling sampai sore, disediakan foto underwater. Kembali ke homstay, salin baju, dilanjutkan melihat matahari tenggelam di Pantai Bintang. 
Makan malam bersama, istirahat sebentar dilanjutkan acara bakar-bakar ikan di Pantai Virgin sepuasnya. 
Pagi hari, acara melihat keindahan matahari terbit di darmaga Bukit Matahari, acara bebas, dan tengah hari kembali pulang ke Jakarta, rute darmaga Muara Angke.


Jadwal yang padat tak menyurutkan semangat wisatawan. Cuman kami berdua yang sudah sepuh, eh...berumur, tetap santai.

"Bu, nggak ikut snorkeling," tanya tiga gadis manis dari Univ. Trisakti melihat saya asik mengelus beberapa kucing yang banyak ditemui di sekitar homestay.
"Nggak dik," sahut saya. Karena eh! karena, saya nggak bisa berenang saya jadi enggan. Dulu pernah snorkeling di Pulau Pramuka, sekalipun menyelam diperairan dangkal, sudah memakai pelambung tetap aja saya ketakutan. Akhirnya, saya putuskan nggak ikut, daripada membuat orang susah melihat kepanikkan saya.
Biar saya di rumah saja, leyeh-leyeh, baru mau bilang nggak ikutan sama si akang. Ealah, malah dia asik ngorok di kasur yang terampar di atas lantai.
Aaah...benar-benar kecapean rupanya.
Akhirnya, Pak Bidu meninggalkan kami, dan berpesan nanti kalau keluar bermain ke pantai, bawa saja kunci rumahnya, diperkiraan rombongan pulang sekitar jam 5 sore.

***

Pulau Pari, Kepulauan Seribu Selatan terletak di tengah gugusan pulau yang berderet dari selatan ke utara perairan Jakarta. Pulau Pari besar ini, masih kelurahan loh, kaget juga saya.
Dinamakan Pulau Pari, karena bentuk pulau seperti ikan Pari jika dilihat dari foto udara.
Penamaan Pulau Pari karena banyak terdapat jenis ikan pari di kepulau ini. Tak heran ikon pulau ini, ikan Pari.

Berkeliling Pulau Pari, menikmati Keindahan Pantai 

Dua jam yang menghentakan, kaget! kok bisa tertidur pulas di tengah homestay. Ini nih, yang namanya benar-benar kecapean. Langsung deh bangun, ngapain atuh liburan malah molor.

Segera mandi, dan berganti baju. Saya sibuk memilih sepeda mini yang pas dudukan sadelnya. Baru sadar udah lama nggak naik sepeda, jadi rada kagok pertamanya, kemudian lancar.

mirip film Korea, so sweet

Bersepeda pengitari pulau, melewati jalan kecil dan masih ada hutan pinus, rasanya mirip serial drama Korea. Romantisme yang diciptakan benar terasa, saling bersepeda, yang satu memacu pedal sepeda sekencang-kencangnya dan yang satu tertinggal dibelakang. Ihhh...ngeselin juga.

Pulau Pari memiliki garis pantai yang sama, namun setiap wilayah memiliki tiga nama pantai yang berbeda.


Pantai Kresek
Pantai yang memiilki pasir pantai kecoklatan. Di sisi pantai, masih banyak ditemukan  pohon kelapa dan sedikit pandan hutan. Saya juga tidak tau, kenapa namanya kresek. Apakah banyak kantong plastik, saya lihat tidak ada.

Di pantai ini ada penjual minuman kelapa segar, mereka menyebut dirinya orang pulau. Di tengah pantai ada ikan pari besar yang ditaruh di kandang terapung. Selain berwisata juga diberikan edukasi tentang populasi dan jenis-jenis ikan Pari.
Ikan Pari atau Manta dalam Kandang 

Penangkaran ikan Pari

Pulau nan indah ini, menurut pedagang pria itu, yang juga orang LSM, saya lupa namanya, hampir separuh pulau, sudah dikuasai perusahaan. Rencanakan akan dibangun hotel berbintang. Bisa ditebak, bagaimana nasib orang pulau nantinya. 

Memang ada yang pro dan kontra, perusahaan akan menjanjikan pekerjaan khusus untuk orang pulau. Kenyataan, bisa ditebak seperti cerita pulau-pulau lainnya di gugusan kepulauan Seribu. Biasanya, itu hanya janji janji semata, buktinya, mereka semakin tergusur tergantikan dengan orang luar pulau dan beberapa orang asing.

Saya merasakan kesedihan dan kekuatiran itu.
Selalu ada yang tersisihkan dalam membangun pulau wisata, yaaa...mereka ini, orang pulau.
Ngobrol dengan LSM Orang pulau, tentang situasi Pulau Pari

"En...cepetan pulang, gimana orang mau masuk, kuncinya dikamu, " tegur Akang.

Langsung deh, saya mengayuh sepeda ke homestay meninggalkan akang yang masih mengobrol di warung pantai. 

Apa terjadi setelah saya ngos ngosan?
Rombongan malah sudah duduk santai di homestay. Saya misuh misuh sendiri, tau gitu nggak buru buru naik sepeda, udah betis pegel. Bilang kek, kunci serep ada di pemilik homestay yang tinggal dibelakang.

Anak muda berwajah manis menyodorkan es buah khas Pulau Pari melihat kelelahan saya. Setelah istrirahat kami berangkat ke utara menuju Pantai Star untuk melihat matahari tenggelam.

Pantai Bintang (Star Beach)

Pantai Bintang dulu namanya, Pantai LIPI.
Suasana yang berbeda di utara, sambil bersepeda di jalan kecil,  kita melewati sedikit hutan pinus menuju kantor LIPI.
Kantor LIPI, satu lokasi yang wajib dikunjungi. LIPI dipergunakan sebagai salah satu pusat penelitian Oceanograf Indonesia.
Akang yang sudah sampai duluan di depan kantor, sibuk ngeplakin nyamuk-nyamuk hutan yang menyerang. Plak plak, ucapan selamat datang yang sungguh eksotis, ya salah sendiri pakai celana pendek, jadilah donor darah ke nyamuk.


Pengunjung pulau, ramai-ramai berjalan menuju ke barat Pantai bintang, tepatnya di belakangkantor LIPI. Lokasi itu, cocok sekali untuk menyaksikan matahari tenggelam yang super indah.

Karena pastilah nyamuk hutan mengikuti si akang, terpaksa kami nggak menuju sisi lain Pantai Bintang yang suasananya lebih terang. 


Pantai Bintang, masih banyak tumbuh pohon pinus, diantara dua pohon digantung ayunan jala, bisa dipakai secara gratis. 

Saya cukup senang menikmati keindahan pantai senja hari itu sambil memperhatikan Akang yang merendam kakinya di laut,  penuh bentol merah dan tak berhenti mengaruk.


Di Pantai bintang terdapat banyak bintang laut diperairan dangkal, mungkin itulah salah satu alasan, kenapa dinamakan Pantai Bintang.

Sore yang teduh di ramaikan  dengan pengunjung yang berfoto. 
Yang paling menyedihkan, beberapa orang pengunjung pantai menangkap bintang laut kemudian diajak selfie sambil memegang bintang laut di kiri dan kanan tangannya.
Nyeri hati saya melihatnya, karena bintang laut itu, akan segera mati jika keluar dari habitatnya.  
Coba seandainya, wisatawan itu mengerti, untuk membiarkan bintang-bintang laut itu hidup aman, bisa berkembang biak tanpa terusik dengan kedatangan wisatawan. Coba seandainya, cukup melihat saja, nggak perlu dipegang, ini baru namanya: sama-sama senang.
Semoga kedepannya ada plang tertulis, larangan memegang bintang laut untuk berfoto.

Mau selfie, silahkan, lalu share ke media sosial untuk menunjukkan keindahan pantai Pulau Pari, tapi nggak usah ngajak-ngajak bintang laut segala.

Pantai Bintang mulai gelap, mataharipun sudah kembali tidur di sebelah Barat. Sayang, moment indah itu tidak sempat saya abadikan.
Suara azan magrib pun terdengar jelas dari masjid Al Ihsan, saya begegas dan sibuk mencari sepeda mini pink di deretan sepeda, untungg...nggak lupa naruhnya. Kata Pak Bidu, sering kok, sepeda tertukar, tapi di Pulau Pari aman dari pencuri, nanti akan ketemu lagi sepedanya. Dengan membayar Rp 4.000 untuk bayar parkir dua buah sepeda, kemudian kami menuju ke homestay.

****

Kami tidak mengikuti acara rombongan, pesan saya pada Pak Bidu, jadi nggak usah menunggu.
Selepas magrib, saya menuju sisi pulau yang lain, Virgin Beach.

Pantai Pasir Perawan nan penuh misteri

Jam menunjukkan setengah tujuh malam, kami mengayuh sepeda ke sisi pulau yang lain.
Saya bertanya kepada seorang ibu di depan rumahnya, kemana arah Pantai Virgin, apakah bisa didatangi malam-malam.
"Kesanaaa, Bu,"uaranya bersemangat, "Jangan takut bu, pantai virgin, dikasih lampu...kitakan hidup dari Pariwisata."
Aihh, Penduduk Pulau Pari sadar betul bahwa pariwisata merupakan peyokong ekonomi masyarakat di Pulau Pari yang harus terus dijaga dan dipelihar.

Benar juga, pintu gerbang di pintu masuk Virgin beach, ada spot yang disediakan untuk berfoto selfie, kebetulan hape saya sekarat baterainya, jadilah mati gaya.
Pantai terang benderang  berhias ampu. Kawasan ini sudah dikelola dengan baik, pantainya indah, dan ada bergola kecil untuk duduk menikmati keindahannya, terdapat pula cafe dan arena voli pantai.


Kenapa namanya Pantai Pasir Perawan.

Rada sedikit serem ya.
Dulu nama pantai ini; Pantai Tanjung Nailun. 
Diambil dari nama saudagar Betawi yang mempunyai sebidang tanah di pulau.
Pada suatu saat ada perempuan jelita yang masih perawan hilang terseret ombak, jasad belum pernah ditemukan hingga kini.

Ramainya destinasi wisata ke pulau-pulau Kepulauan Seribu, untuk menarik minat wisatawan datang, sejak 2010 Pantai Tanjung Nailun berubah Nama Pantai Pasir Perawan. Dari namanya aja mengundang tanda tanya untuk berkunjung ke pantai ini. Pasirnya yang lembut dan ombaknya sedang, suasananya masih asli jarang terjamah, membuat pantai ini dijuluki pantai perawan. Abaikan cerita misteri itu. Diam diam saya menegok ke sebelah saya yang rada gelap, sapa tauu...kan, kan,kan, jadi takut sendiri.

Malam pun tiba....berdua kami ngobrol tentang acara besok, cuman jalan di pulau, sementara kami sudah lebih dahulu menjelajahi, bagaimana kalau kita pulang pagi hari, nggak ikut rombongan. Lumayankan masih ada waktu untuk menjelajahi wisata yang lain. Lagian waktu Akang tinggal sehari lagi kemudian pulang untuk kembali bekerja.

Pak Bidu, menyarankan kami naik perahu kayu jam 6 pagi menuju darmaga Tangerang.
Okelah, kami setuju untuk pulang melewati jalur lain.

Malam sudah larut, saya mendengar pintu rumah dibuka dan riuh percakapan, mereka baru pulang dari acara bakar ikan di pantai Pasir Perawan. Sementara yang lain terlelap tidur, baru terasa, kaki saya pegel semua....Hehehe, sepeda mini, ini berkat kayuhan kaki tadi siang...*balur kayu putih.

Ceritanya akan saya lanjutkan ke postingan berikutnya. Baca di sini, klik

Sumber foto: Dokumen Pribadi[en] 



















































2 comments: