Friday, March 4, 2016

Kawong Masak Bahenda ala Sepupu Saya.


Hujan turun sepanjang hari. Suara air seperti irama yang beraturan, jatuh di rumah beratap seng, melodi alam menghanyutkan saya untuk tetap tidur. Rasa malas untuk berpergian di pagi ini, nikmat nian berebah di kasur rumah papan Mina Pancar. Kasur yang diampar diatas lantai papan beralas karpet plastis bercorak, sungguh sederhana, namun membuat saya betah, serasa di rumah sendiri.

Tak ada gemuruh dan kilat hujan di Palangka Raya, berbeda jauh, dengan kota Bogor, tempat saya tinggal. Bila hujan di Bogor, jangan aneh dan terkaget-kaget ya, soalnya musik langit beraliran metal, ada petir dan kilat menyambar, semarak di antara hujan. Bagaimana bisa tidur dengan nyenyak, jika semua memekak...Ah, hujan di kota Palangka Raya begitu tenang.

Masih termanggu menatap hujan. Sedari kemarin, saya kekenyangan berburu makanan, apa saja di coba, aihhh....alamat, urang jadi lintuh
Lupakan diet selama berkunjung ke suatu kota, lupakan saja, nikmati setiap suapan makanan, nikmat! Menikmati kuliner khas kota Palangka Raya saya mabuk kepayang, seperti orang dimabuk cinta, semua dimakan dam dicoba: sayur kalakai, mandai goreng, mie bancir, pencok madura, nasi kuning iwak haruan, lontong segitiga masak habang, bingka, sunduk lawang, dan banyak lainnya. 

Kadang saya sulit menentukannya, kuliner ini aslinya dari mana? Suku Banjar dan suku Dayak sudah berbaur sejak dulu..Saya katakan, mie bancir dari Palangka Raya, ternyata bukan, aslinya dari Banjarmasin.
Banyak kesamaan kuliner Banjarmasin dan Palangka Raya, wajarlah batas wilayahnya berdekatan, hanya dengan 3 jam bisa keluar masuk dua provinsi. Ditambah lagi, di Palangka Raya banyak didatangi warga pendatang, khususnya orang Jawa dan Madura, jadilah kuliner di Palangka Raya, beragam dan rasanya ajib bener, Indonesia banget. Jangan heran, rawon sudah seperti makanan utama di sini. Banyaknya pendatang dari Surabaya, rawon menjadi masakan yang akrab dilidah orang Kalimantan. 

Keretekkk...suara lantai berderak, langkah sepupu saya bergegas ke dapur. Belanjaan ditangan kanannya, entah apa yang dibelinya. Biasalah, sepulang pengantar bocah lelakinya ke sekolah, langsung berbelanja. Ia juga seperti saya, sengaja datang ke rumah ibunya, ada acara manten ponakan akhir bulan di Palangka Raya. Atas nama keluarga, ia izin tak mengajar di tempat bekerjanya di Puruk Cahu. Keluarga, selalu bisa mempersatukan yang jauh menjadi dekat.

"Mbakk, aku beli kawong, nihhh," ujar Inur, wajah menjembul di antara horden pintu kamar.

Kawong?

Apa lagi yang dibawanya. Sekalipun, keturunan Dayak dari ibu, saya sulit berbicara secara aktif, tapi mengerti seluruh arti bahasa Dayak.
Penasaran dengan si kawong, langsung saya beranjak melihat bawaannya.

Awalnya saya kira jenis makanan baru. Baru denger juga sih, kawong. Bentuknya keriting berwarna campuran hitam dan putih, setelah dicermati. Ealahhh, ini kan keong, dalam bahasa Dayak, namanya Kawong.

"Dimasak apa yu, mbak" tanyanya. 
Saya diam saja, sekali-kali atuh, mau merasakan masakan sepupu...*aleysan, sebenernya sih, males masak*
tapi jujur, kalo dimasakin itu, kok ya, rasanya enak bangetttt.

Sepupu berpikir sejenak,"kawong masak bahenda"
Bahenda artinya kuning, diolah dengan bumbu kuning yang berasal dari henda(kunyit) Kawong, atau keong, di Bogor biasanya dimasak dengan cangkangnya, namanya tutut. Di Palangka Raya, kawong sudah dibuang cangkangnya, perebusan dilakukan agak lama dan pencucian berulang kali, sampai bersih. Hasilnya, kawong tanpa cangkang siap diolah beragam masakan.

Saya duduk di meja makan, memperhatikan sepupu memasak  sambil mendengar ceritanya, tentang kota kecil tempatnya mengajar di Puruk Cahu, cerita mistis, cinta, air mata dan perpisahan, campur aduk, seperti tangannya yang lincah mengaduk kawong di atas wajan.
Haru biru ya, dik, cerita hidupmu, ternyata jalan cerita kita sama. Ah, takdir. Diam saya membatin.

"Mbak sudah masak nih, kurang apa ya?" suaranya nyaring mengagetkan.
"Enak kok," dari wanginya saja dipastikan, sudah enak, tak perlu dicicipi...Jawaban saya, membuat senyumnya mengembang lebar.

Ini saya bagikan resep Kawong masak Bahenda ala sepupu saya.
Bahan utama
Kawong 2 plastik, sekitar seperempat kilogram.
5 batang serai di iris tipis
secawan kemangi

Bumbu halus
5 siung bawang merah
4 siung bawang putih
4 buah cabe rawit
sedikit jahe.
minyak sayur untuk menumis. Setengah cawan air.
garam, gula dan penyedap rasa.

Cara memasaknya sangat mudah.  
Bumbu halus di campur dengan irisan serai, ulek kasar. Panaskan minyak goreng, tumis bumbu halus hingga harum. Masukkan kawong.
Berilah air untuk mematang kawong, tambahkan garam, gula dan penyedap rasa,  biarkan sampai air saat dan kawong masak dengan sempurna.
Terakhir beri daun kemangi, aduk sebentar. 
Kawong siap di sajikan.

"Mbakkk, kuman," ajak Inur, sambil menaruh piring di lantai.
Bukan 'kuman penyakit' maksudnya tapi, 'kuman' dalam bahasa dayak, artinya : Makan. 
Rasa kawongnya, enak sekali, baunya keong yang khas, setiap dimakan, rasa serai mengigit, krenyess, baunya wangi. Sayangnya kurang pedes...Untunglah, disediakan sambel hidup, lombok rawit yang diulek langsung, hidup-hidup, sadis nian. Hasilnya, memang luar biasa, sambel yang pedas ajubileh...pas banget makanan hari ini, perpaduan nan sempurna, kawong masak bahenda, sambel hidup, nasi hangat. 



4 comments:

  1. Yaampun mak, kawong tuh keong ya hihii kirain apaan tohh..
    Wah tapi ini sih yang bikin masakannya harus yang ahli masak ya mak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya...kawong itu keong. Saya juga tadi nggak ngerti, karena dijual cangkangnya sudah dilepas

      Delete
  2. Keong enak kalo dimasak pake santan...bisa di sruput2 kuahnya..hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kalo di Bogor diberi santal, keongnya masih bercangkang, jadi disedot..sluppp

      Delete